4 my nation

4 my nation

Kamis, 27 Oktober 2011

TEORI BELAJAR GUILFOR : Structure of Intellect

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap manusia yang hidup di dunia ini tentunya senantiasa berfikir, terkadang yang membedakannya adalah tingkat kecerdasan dalam pemikiran manusia tersebut, yang dimaksud dengan kecerdasan adalah kesanggupan mental seseorang untuk menerima, memahami, bahkan menginterprestasikan sesuatu secara berlebih, daripada yang lain. Orang lain bisa mengukur kecerdasan orang, tentunya dengan tes- tes yang biasanya dilakukan oleh psikolog. Terdapat tiga karakteristik utama dalam kecerdasan yaitu kemampuan verbal, pemecahan masalah praktis dan kemampuan sosial. Pengertian Kecerdasan berdasarkan pengertian tradisional, kecerdasan meliputi kemampuan membaca, menulis, berhitung, sebagai jalur sempit ketrampilan kata dan angka yang menjadi fokus di pendidikan formal serta mengarah kepada kebenaran secara konfergen. Istilah kecerdasan itu diturunkan dari kata inteligensi. Inteligensi merupakan suatu kata yang memiliki makna sangat abstrak. Secara umum kecerdasan (inteligensi) dapat didefinisikan sebagai suatu konsep abstrak yang diukur secara tidak langsung oleh para psikolog melalui tes inteligensi untuk mengestimasi proses intelektual. Adapun komponen utama inteligensi, yaitu kemampuan verbal, keterampilan pemecahan masalah, kemampuan belajar dan kemampuan beradaptasi dengan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari. Inteligensi adalah kesanggupan mental untuk memahami, menganalisis secara kritis cermat dan teliti, serta menghasilkan ide-ide baru secara efektif dan efisien. (http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/15/apa-sih-kecerdasan-itu/). Beberapa ahli mempunyai pandangan yang berbeda mengenai kecerdasan itu sendiri. Salah satunya ialah Dr J.P Guilford di University of Southern California. Seorang psikolog di Angkatan Udara AS di pertengahan 1900-an, Guilford menerangkan tentang Kecerdasan yang di diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam menjawab melalui situasi sekarang untuk semua peristiwa masa lalu dan mengantisipasi masa yang akan datang. Dalam konteks ini maka yang namanya belajar adalah termasuk berpikir, atau berupaya berpikir untuk menjawab segala masalah yang dihadapi. Kecerdasan menurut pandangan Guilford memandang adanya struktur yang terlibat di dalam proses kecerdasan sehingga menghasilkan produk berupa berfikir kreatif dan divergent (memiliki beberapa alternatif kebenaran). Berdasarkan latar belakang di atas, penulis mencoba menjelaskan mengenai Struktur Kecerdasan menurut pandangan JP Guilford atau yang lebih dikenal dengan Structure of Intellect (SOI) dengan Judul “TEORI BELAJAR GUILFOR : Structure of Intellect”. 1.2. Rumusan Masalah Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pengertian dan inti Teori Belajar Guilford 2. Bagaimana karakteristik dari Teori Struktur Intelegensi 3. Bagaimana penerapan Teori Belajar Guilfor dalam pembelajaran 1.3. Tujuan Penulisan Adapun yang menjadi tujuan penulisan dalam makalah ini adalah sebagai berikut : 1. Menjelaskan pengertian dan inti Teori Belajar Guilford 4. Memaparkan karakteristik dari Teori Struktur Intelegensi 2. Menjelaskan kelebihan dan kekurangan Teori Belajar Guilfor 1.4. Metode Pemecahan Masalah Metode penulisan yang digunakan dalam menyelesaikan penyusunan makalah ini yaitu menggunakan metode studi literatur dengan mengumpulkan berbagai sumber (sumber buku dan internet) yang berkaitan dengan tema “Teori Belajar Guilford” . 1.5. Sistematika Penulisan Makalah Bab I : dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang penulisan, rumusan masalah, tujuan penulisan makalah, metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini, dan sistematika penulisan. Bab II : dalam bab ini merupakan bab isi pembahasan masalah berisi mengenai pengertian teori, inti toeri, karakteristik, dan penerapan dari Teori Intelegensi Guilfor. Bab III : dalam bab ini merupakan bab penutupan berisi kesimpulan dari pembahasan. BAB II TEORI BELAJAR GUILFORD Structure of Intellect 2.1. Pengertian dan Inti Teori Belajar Guilford Guilford merupakan lulus dari Universitas Nebraska sebelum belajar di Edward Titchener di Cornell . Pada tahun 1938 Guilford menjadi Presiden ke-3 Masyarakat Psikometri, mengikuti jejak pendirinya Louis Leon Thurstone dan EL Thorndike yang memegang posisi pada tahun 1937. Guilford melakukan pengembangan di Nebraska dan di University of Southern California. Pada tahun 1941 ia memasuki US Army Letnan Kolonel dan menjabat sebagai Direktur Unit Penelitian Psikologi No 3 di Basis Angkatan Darat Santa. Dipromosikan menjadi Kepala Unit Penelitian Psikologi di Angkatan Darat Pelatihan Udara AS Markas Komando Pasukan di Fort Worth, Guilford mengawasi "Proyek Stanines," yang mengidentifikasi delapan kemampuan intelektual yang spesifik penting untuk menerbangkan pesawat. (Stanines, sekarang istilah umum dalam psikologi pendidikan, diciptakan selama proyek Guilford). Selama Perang Dunia II, penggunaan Guilford dari delapan faktor dalam pengembangan Baterai Uji dua hari Klasifikasi signifikan dalam meningkatkan tingkat kelulusan bagi trainee aircrew. Guilford bergabung dengan fakultas Pendidikan di University of Southern California dan melanjutkan penelitian faktor-faktor kecerdasan. Dia dipublikasikan secara luas pada apa yang akhirnya bernama Struktur teori Akal, dan pasca-Perang penelitian mengidentifikasi total 90 kemampuan intelektual diskrit dan 30 kemampuan perilaku. Struktur of Intelek (SOI) adalah teori kecerdasan manusia yang dikembangkan dari karya Dr JP Guilford di University of Southern California. Guilford menciptakan alat penilaian untuk membantu Angkatan Udara sebagai tujuan untuk memperoleh pilot yang akan berhasil di lapangan. (http://www.upsidedownschoolroom.com/soi.shtml). Teori Belajar Guilford banyak membicarakan mengenai struktur intelejensi/kecerdasan seseorang yang banyak mengarah pada kretivitas seseorang. Guilford menerangkan tentang Kecerdasan yang di diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam menjawab melalui situasi sekarang untuk semua peristiwa masa lalu dan mengantisipasi masa yang akan datang. Dalam konteks ini maka yang namanya belajar adalah termasuk berpikir, atau berupaya berpikir untuk menjawab segala masalah yang dihadapi. Diperlukan perilaku intelejen, yang tentu sangat berbeda dengan perilaku nonintelejen. Berpikir kreatif menuntut adanya pengikatan diri terhadap tugas (task commitment) yang tinggi. Artinya, kreativitas menuntut disiplin yang tinggi dan konsisten terhadap bidang tugas. Kreativitas, menurut Guilford (1967), dapat dinilai dari ciri-ciri aptitude seperti kelancaran, fleksibilitas dan orisinalitas, maupun ciri-ciri non-aptitude, antara lain temperamen, motivasi, serta komitmen menyelesaikan tugas. Hidup berarti menghadapi masalah, dan memecahkan masalah berarti tumbuh berkembang secara intelektual. (http://www.masbied. com/2010/03/20/teori-belajar-guilford/#more-2466). Guilford mengemukakan bahwa inteligensi dapat dilihat dari tiga kategori dasar atau faces of intellect, yaitu : 1. Operasi Mental (Proses Befikir) a. Cognition (menyimpan informasi yang lama dan menemukan informasi yang baru). b. Memory Retention (ingatan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari). c. Memory Recording (ingatan yang segera). d. Divergent Production (berfikir melebar atau banyak kemungkinan jawaban/ alternatif). e. Convergent Production (berfikir memusat atau hanya satu kemungkinan jawaban/alternatif). f. Evaluation (mengambil keputusan tentang apakah suatu itu baik, akurat, atau memadai). 2. Content (Isi yang Dipikirkan) a. Visual (bentuk konkret atau gambaran). b. Auditory. c. Word Meaning (semantic). d. Symbolic (informasi dalam bentuk lambang, kata-kata atau angka dan notasi musik). e. Behavioral (interaksi non verbal yang diperoleh melalui penginderaan, ekspresi muka atau suara). Contoh : Sejak umur 3 tahun anakku sudah mampu membaca. 7 bulan kemudian semua kata berbahasa Indonesia dapat dibacanya dengan baik. Layaknya anak di bangku sekolah dasar. Karena jenis tulisan favoritnya adalah dongeng atau cerita anak, ditambahkannya mimik dan intonasi untuk menggambarkan pembedaan tokoh. Lambat laun kerap muncul pertanyaan seputar kata yang belum dipahaminya. Kadang dilemparkannya dengan emosi, misalnya: “Kenapa sih, anak itu tidak mau meminjamkan mainannya? Ara aja mau kasih pinjam mainan ke teman-teman.” Ilustrasi riil di atas menggambarkan tercapainya parameter konten menurut struktur kemampuan intelektual menurut Guilford (1982); digambarkan sebagai kelompok (tipe) informasi, seperti: berwujud, simbolik, semantik, menggambarkan perilaku dan merupakan interaksi nonverbal individu. Singkat kata, model ‘Guilford’ menunjukkan halaman yang sebenarnya tidak baru dalam pendidikan dan konsep keberbakatan. Sebuah rasionalisasi pengamatan keberbakatan dari berbagai segi, yang dihantarkan lewat metode mendongeng atau bercerita bagi anak. Dari sini kita akan beranjak pada peran vital pendidikan dalam menentukan tidak hanya keberlangsungan masyarakat, namun juga mengukuhkan identitas individu dalam masyarakat. 3. Product (Hasil Berfikir) a. Unit (item tunggal informasi). b. Kelas (kelompok item yang memiliki sifat-sifat yang sama). b. Relasi (keterkaitan antar informasi). c. Sistem (kompleksitas bagian saling berhubungan). d. Transformasi (perubahan, modifikasi, atau redefinisi informasi). e. Implikasi (informasi yang merupakan saran dari informasi item lain). (http://www.masbied.com/2010/03/20/teori-belajar-guilford/#more-2466). Setiap teori pembelajara mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Begitu juga dengan teori Struktur of Intellect yang dibahas dalam kajian ini. Kelebihan dari penerapan teori ini ialah dapat memkasimalkan semua potensi yang ada terutama dalam proses berfikir yang lebih kompleks (divergen). Sedangkan kekurangannya ialah bila digunakan kepada anak-anak atau siswa yang terbiasa dengan menggunakan pola berfikir konvergen yang menyebabkan anak tersebut ngalami kebingungan. Karena dalam pola berfikir konfergen selalu meminta jawaban yang paling benar. 2.2. Karakteristik Teori Struktur Intelegensi a. Inteligensi dan IQ Inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. secara garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi inteligensi adalah : 1. Faktor keturunan Penelitian membuktikan bahwa korelasi nilai tes IQ dari satu keluarga sekitar 0,50. Sedangkan di antara 2 anak kembar, korelasi nilai tes IQnya sangat tinggi, sekitar 0,90. Bukti lainnya adalah pada anak yang diadopsi. IQ mereka berkorelasi sekitar 0,40 – 0,50 dengan ayah dan ibu yang sebenarnya, dan hanya 0,10 – 0,20 dengan ayah dan ibu angkatnya. Selanjutnya bukti pada anak kembar yang dibesarkan secara terpisah, IQ mereka tetap berkorelasi sangat tinggi, walaupun mungkin mereka tidak pernah saling kenal. 2. Faktor lingkungan. Walaupun ada ciri-ciri yang pada dasarnya sudah dibawa sejak lahir, ternyata lingkungan sanggup menimbulkan perubahan-perubahan yang berarti. Inteligensi tentunya tidak bisa terlepas dari otak. Perkembangan otak sangat dipengaruhi oleh gizi yang dikonsumsi. Selain gizi, rangsangan-rangsangan yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan juga memegang peranan yang amat penting. Orang seringkali menyamakan arti inteligensi dengan IQ, padahal kedua istilah ini mempunyai perbedaan arti yang sangat mendasar. Arti inteligensi sudah dijelaskan di depan, sedangkan IQ atau tingkatan dari Intelligence Quotient, adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan. Dengan demikian, IQ hanya memberikan sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak menggambarkan kecerdasan seseorang secara keseluruhan. Skor IQ mula-mula diperhitungkan dengan membandingkan umur mental (Mental Age) dengan umur kronologik (Chronological Age). Bila kemampuan individu dalam memecahkan persoalan-persoalan yang disajikan dalam tes kecerdasan (umur mental) tersebut sama dengan kemampuan yang seharusnya ada pada individu seumur dia pada saat itu (umur kronologis), maka akan diperoleh skor 1. Skor ini kemudian dikalikan 100 dan dipakai sebagai dasar perhitungan IQ. Tetapi kemudian timbul masalah karena setelah otak mencapai kemasakan, tidak terjadi perkembangan lagi, bahkan pada titik tertentu akan terjadi penurunan kemampuan. b. Pengukuran Inteligensi Pada tahun 1904, Alfred Binet dan Theodor Simon, dua orang psikolog asal Perancis merancang suatu alat evaluasi yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan kelas-kelas khusus (anak-anak yang kurang pandai). Alat tes itu dinamakan Tes Binet-Simon. Tes ini kemudian direvisi pada tahun 1911. Tahun 1916, Lewis Terman, seorang psikolog dari Amerika mengadakan banyak perbaikan dari tes Binet-Simon. Sumbangan utamanya adalah menetapkan indeks numerik yang menyatakan kecerdasan sebagai rasio (perbandingan) antara mental age dan chronological age. Hasil perbaikan ini disebut Tes Stanford-Binet. Indeks seperti ini sebetulnya telah diperkenalkan oleh seorang psikolog Jerman yang bernama William Stern, yang kemudian dikenal dengan Intelligence Quotient atau IQ. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun. Salah satu reaksi atas tes Binet-Simon atau tes Stanford-Binet adalah bahwa tes itu terlalu umum. Seorang tokoh dalam bidang ini, Charles Sperrman mengemukakan bahwa inteligensi tidak hanya terdiri dari satu faktor yang umum saja (general factor), tetapi juga terdiri dari faktor-faktor yang lebih spesifik. Teori ini disebut Teori Faktor (Factor Theory of Intelligence). Alat tes yang dikembangkan menurut teori faktor ini adalah WAIS (Wechsler Adult Intelligence Scale) untuk orang dewasa, dan WISC (Wechsler Intelligence Scale for Children) untuk anak-anak. Di samping alat-alat tes di atas, banyak dikembangkan alat tes dengan tujuan yang lebih spesifik, sesuai dengan tujuan dan kultur di mana alat tes tersebut dibuat. c. Inteligensi dan Bakat Inteligensi adalah kemampuan untuk berpikir secara abstrak, merespon secara benar dan tepat serta menyesuaikan dengan lingkungan. Di dalam struktur inteligensi menurut Guilford juga terkandung komponen ingatan. Inteligensi merupakan suatu konsep mengenai kemampuan umum individu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dalam kemampuan yang umum ini, terdapat kemampuan-kemampuan yang amat spesifik. Kemampuan-kemampuan yang spesifik ini memberikan pada individu suatu kondisi yang memungkinkan tercapainya pengetahuan, kecakapan, atau ketrampilan tertentu setelah melalui suatu latihan. Inilah yang disebut Bakat atau Aptitude. Karena suatu tes inteligensi tidak dirancang untuk menyingkap kemampuan-kemampuan khusus ini, maka bakat tidak dapat segera diketahui lewat tes inteligensi. Alat yang digunakan untuk menyingkap kemampuan khusus ini disebut tes bakat atau aptitude test. Tes bakat yang dirancang untuk mengungkap prestasi belajar pada bidang tertentu dinamakan Scholastic Aptitude Test dan yang dipakai di bidang pekerjaan adalah Vocational Aptitude Test dan Interest Inventory. Contoh dari Scholastic Aptitude Test adalah tes Potensi Akademik (TPA) dan Graduate Record Examination (GRE). Sedangkan contoh dari Vocational Aptitude Test atau Interest Inventory adalah Differential Aptitude Test (DAT) dan Kuder Occupational Interest Survey. d. Inteligensi dan Kreativitas Kreativitas merupakan salah satu ciri dari perilaku yang inteligen karena kreativitas juga merupakan manifestasi dari suatu proses kognitif. Meskipun demikian, hubungan antara kreativitas dan inteligensi tidak selalu menunjukkan bukti-bukti yang memuaskan. Walau ada anggapan bahwa kreativitas mempunyai hubungan yang bersifat kurva linear dengan inteligensi, tapi bukti-bukti yang diperoleh dari berbagai penelitian tidak mendukung hal itu. Skor IQ yang rendah memang diikuti oleh tingkat kreativitas yang rendah pula. Namun semakin tinggi skor IQ, tidak selalu diikuti tingkat kreativitas yang tinggi pula. Sampai pada skor IQ tertentu, masih terdapat korelasi yang cukup berarti. Tetapi lebih tinggi lagi, ternyata tidak ditemukan adanya hubungan antara IQ dengan tingkat kreativitas. Para ahli telah berusaha mencari tahu mengapa ini terjadi. J. P. Guilford menjelaskan bahwa kreativitas adalah suatu proses berpikir yang bersifat divergen, yaitu kemampuan untuk memberikan berbagai alternatif jawaban berdasarkan informasi yang diberikan. Sebaliknya, tes inteligensi hanya dirancang untuk mengukur proses berpikir yang bersifat konvergen, yaitu kemampuan untuk memberikan satu jawaban atau kesimpulan yang logis berdasarkan informasi yang diberikan. Ini merupakan akibat dari pola pendidikan tradisional yang memang kurang memperhatikan pengembangan proses berpikir divergen walau kemampuan ini terbukti sangat berperan dalam berbagai kemajuan yang dicapai oleh ilmu pengetahuan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa inteligensi merupakan potensi yang diturunkan dan dimiliki oleh setiap orang untuk berfikir secara logis, berfikir abstrak dan kelincahan berfikir. Banyak orang menggugat tentang kecerdasan intelektual (unidimensional), yang dianggap sebagai anugerah yang dapat mengantarkan kesuksesan hidup seseorang. Pertanyaan muncul, bagaimana dengan tokoh-tokoh dunia, seperti Mozart dan Bethoven dengan karya-karya musiknya yang mengagumkan, atau Maradona dan Pele sang legenda sepakbola dunia,. Apakah mereka termasuk juga orang-orang yang genius atau cerdas? Dalam teori kecerdasan tunggal (uni-dimensional), kemampuan mereka yang demikian hebat ternyata tidak terakomodasikan. Maka muncullah, teori inteligensi yang berusaha mengakomodir kemampuan-kemampuan individu yang tidak hanya berkenaan dengan aspek intelektual saja. Dalam hal ini, Teori Multiple Inteligence, dengan aspek-aspeknya sebagai tampak dalam tabel di bawah ini: INTELIGENSI KEMAMPUAN INTI Logical Mathematical Kepekaan dan kemampuan untuk mengamati pola-pola logis dan bilangan serta kemampuan untuk berfikir rasional. Linguistic Kepekaan terhadap suara, ritme, makna kata-kata, dan keragaman fungsi-fungsi bahasa. Musical Kemampuan untuk menghasilkan dan mengapresiasikan ritme. Nada dan bentuk-bentuk ekspresi musik. Spatial Kemampuan mempersepsi dunia ruang-visual secara akurat dan melakukan tranformasi persepsi tersebut. Bodily Kinesthetic Kemampuan untuk mengontrol gerakan tubuh dan mengenai objek-objek secara terampil. Interpersonal Kemampuan untuk mengamati dan merespons suasana hati, temperamen, dan motivasi orang lain. Intrapersonal Kemampuan untuk memahami perasaan, kekuatan dan kelemahan serta inteligensi sendiri. (http://www.masbied.com/2010/03/20/teori-belajar-guilford/#more-2466). Kecakapan potensial seseorang hanya dapat dideteksi dengan mengidentifikasi indikator-indikatornya. Jika kita perhatikan penjelasan tentang aspek-aspek inteligensi dari teori-teori inteligensi di atas, maka pada dasarnya indikator kecerdasan akan mengerucut ke dalam tiga ciri yaitu : kecepatan (waktu yang singkat), ketepatan (hasilnya sesuai dengan yang diharapkan) dan kemudahan (tanpa menghadapi hambatan dan kesulitan yang berarti) dalam bertindak. Dengan indikator-indikator perilaku inteligensi tersebut, para ahli mengembangkan instrumen-instrumen standar untuk mengukur perkiraan kecakapan umum (kecerdasan) dan kecakapan khusus (bakat) seseorang. Alat ukur inteligensi yang paling dikenal dan banyak digunakan di Indonesia ialah Tes Binet Simon – walaupun sebetulnya menurut hemat penulis alat ukur tersebut masih terbatas untuk mengukur inteligensi atau bakat persekolahan (scholastic aptitude), belum dapat mengukur aspek – aspek inteligensi secara keseluruhan (multiple inteligence). Selain itu, ada juga tes intelegensi yang bersifat lintas budaya yaitu Tes Progressive Metrices (PM) yang dikembangkan oleh Raven. Dari hasil pengukuran inteligensi tersebut dapat diketahui seberapa besar tingkat integensi (biasa disebut IQ = Intelligent Quotient yaitu ukuran kecerdasan dikaitkan dengan usia seseorang. Rumus yang biasa digunakan untuk menghitung IQ seseorang adalah : 100 % x (Mentalege : Chrologolicalage). Di bawah ini disajikan norma ukuran kecerdasan dikaitkan dengan usia seseorang. IQ KATEGORI PERSENTASE 140 Jenius (Genius) 0.25 % 130-139 Sangat Unggul (Very Superior) 0.75 % 120-129 Unggul (Superior) 6 % 110-119 Diatas rata-rata (High Average) 13 % 90-109 Rata-rata (Average) 60 % 80 – 89 Dibawah Rata-Rata (Low Average) 13 % 70 – 79 Bodoh (Dull) 6 % 50 – 69 Debil (Moron) 0.75 % 25 – 49 Imbecil 0.20 % < 25 Idiot 0.05 % Guilford melihat keperibadian sebagai suatu struktur sifat yang tersusun secara hirarkis, mulai dari tipe-tipe yang luas pada puncaknya. Kemudian sifat-sifat primer, kemudian hexes (diposisi-diposisi agak khusus sepeti kebiasaan-kebiasaan.). Guilford juga mengakui adanya sejumlah sub-area utama dalam keperibadian serta sifat-sifat abilitas, teperamen dan dinamik. Jadi, dalam ranah temperamen, dimensi “positf-negatif “ melahirkan faktor “ percaya dari versus interior” dalam bidang tingkah laku umum dan faktor” sifat periang versus sifat pemalu” dalam bidang emosi. 2.3. Penerapan Teori Belajar Guilford Dalam Logika Matematika Kreativitas yang di kembangkan oleh Guilford di terapkan mulai pada tingkat taman kanak-kanak, yaitu dalam mengenal bilangan, mengambar bangun datar dan bangun ruang. Pada tingkat sekolah dasar maupun menengah bahkan pada tingkat perguruan tinggi terdapat beberapa materi yang esensisal yang memungkinkan anak untuk berkreatifitas misalnya materi geometri. Salah satu contoh materi menentukan kretifitas siswa dalam memecahkan masalah : 1. Siswa di kelas di perkenalkan sebuah bangun ruang, yaitu kubus ABCD EFGH yang disusun dari beberapa bidang sisi, siswa dikelas diperkenalkan salah satu jaring-jaring kubus : Siswa diberikan waktu untuk memikirkan berdasarkan contoh yang telah diberikan untuk menemukan sendiri susunan jaring-jaring kubus yang lain. 2. Dalam lomba pacuan kuda terdapat 15 lebih kaki kuda daripada ekornya. Berapa banyak kuda pada lomba itu? Penyelesaian : Cara 1. Misal x = banyak kuda x juga menyatakan banyak ekor kuda. x+15 = 4x 3x = 15 x = 5. Jadi, Banyak kuda adalah 5 Cara 2. Kaki kuda 4 dan ekor satu. Lebihnya ada 15 Kaki dikurangi ekor ada 3 Bagi 15/3 = 5. Banyak kuda adalah 5 Cara 3. Banyak kuda Kaki kaki Ekor Lebihnya 1 4 1 3 2 8 2 6 3 12 3 9 4 16 4 12 5 20 5 15 Banyak kuda adalah 5. Dari tabel kalau lebihnya pasti kelipatan 3, jadi banyak kuda dapat dicari dengan membagi 3 dari lebih kakinya. Misalkan lebihnya 36, maka banyak kuda pasti 12. 3. Bagaimanakah cara mendapatkan 6 liter air dari suatu bak, bila hanya tersedia gelas ukuran 9 liter dan 4 liter? Tes Visual: Cari gambar berikutnya dari delapan pilihan yang ada: Contoh tes melanjutkan gambar (Tes kepribadian): Instruksi : 1. Anda bebas mengambar apa saja sesuai yang anda inginkan. 2. Anda boleh mengambar secara berurutan dari kolom pertama hingga yang terakhir, atau tidak berurut. 3. Setiap selesai mengambar, anda beri nomor, misalna anda mulai mengambar pada kolom enam, berarti anda memberi nomor 1 pada kolom enam, demikian seterusnya. 4. Gambar mana yang paling anda sukai dari delapan yang anda gambar 5. Gambar mana yang paliang anda tidak sukai dari kedelapan yang anda gambar. Contoh tes yang membutuhkan kreativitas siswa: Sebelas batang tusuk gigi disusun sebagaimana terlihat pada gambar berikut ini untuk membuat lima buah segitiga. a. pindahkan sebuah tusuk gigi untuk membentuk empat buah segitiga. b. Pindahkan dua buah tusuk gigi untuk memmbentuk empat buah segitiga. c. Pindahklan dua buah tusuk gigi untuk membentuk tiga buah segitiga. d. Pindahkan sebuah usu gigi untuk membentuk tiga buah segitiga. Sebuah koin berada dalam sebuah “cangkir” yang terbentuk dari empat batang korek api. Coba untuk membuat koinya berada di luar cangkir hanya dengan memindahkan bua batang korek api untuk membentuk cangkir yang kongruen pada posisi yang berbeda. BAB III KESIMPULAN Guilford menerangkan tentang Kecerdasan yang di diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam menjawab melalui situasi sekarang untuk semua peristiwa masa lalu dan mengantisipasi masa yang akan datang. Kreativitas, menurut Guilford dapat dinilai dari ciri-ciri aptitude seperti kelancaran, fleksibilitas dan orisinalitas, maupun ciri-ciri non-aptitude, antara lain temperamen, motivasi, serta komitmen menyelesaikan tugas. Guilford mengemukakan bahwa inteligensi dapat dilihat dari tiga kategori dasar atau “faces of intellect”, yaitu : Operasi Mental (Proses Befikir) , Content (Isi yang Dipikirkan), Visual (bentuk konkret atau gambaran). Auditory. Word Meaning (semantic). Symbolic (informasi dalam bentuk lambang, kata-kata atau angka dan notasi musik). Behavioral (interaksi non verbal yang diperoleh melalui penginderaan, ekspresi muka atau suara) dan Product (Hasil Berfikir). DAFTAR PUSTAKA Abidin, Muhammad Zainal. (2010). Teori Belajar Guilford. [Online]. Tersedia : http://www.masbied.com/2010/03/20/teori-belajar-guilford/#more-2466. [15 September 2011]. Kearsley, G. (2002). JP Guilford Struktur Intelek. [Online]. Tersedia: http://www.lifecircles-inc.com/Learningtheories/guilford.html. [15 September 2011]. Kompasiana. (2010). Apa Sih Kecerdasan Itu. [Online]. Tersedia: http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/15/apa-sih-kecerdasan-itu/. [15 September 2011]. Guilford, J. P. (1973). Fundamental statistic in psychology and education. New York : Mc Graw-Hill Book Company. Guilford, J.P. (1967). The nature of human intelligence. New York: Mcgraw-Hill. Hergenhahn, B.R. dan Matthew H. Olson. Theories of Learning; Teori Belajar. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. The Upside-Down School Room. (t). Struktur Intelek. [Online]. Tersedia: http://www.upsidedownschoolroom.com/soi.shtml. [ 15 September 2010]. Wikipedia. (2010). JP Guilford. [Online]. Tersedia: http://en.wikipedia.org/wiki/J._P._Guilford. [15 September 2011].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar