4 my nation

4 my nation

Sabtu, 17 Desember 2011

TEORI DISONANSI KOGNITIF

Teori Disonansi Kognitif, Leon Festinger Perasaan yang tidak seimbang ini sebagai disonansi kognitif; hal ini merupakan perasaan yang dimiliki orang ketika mereka menemukan diri mereka sendiri melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang mereka ketahui, atau mempunyai pendapat yang tidak sesuai dengan pendapat lain yang mereka pegang”(1957,hal 4). Konsep ini membentuk inti dari teori disonansi kognitif, teori ini berpendapat bahwa disonansi adalah sebuah perasaan tidak nyaman yang memotivasi orang untuk mengambil langkah demi mengurangi ketidaknyaman itu.(figur 7.1) Roger brown (1965)katakan, dasar dari teori ini mengikuti sebuah prinsip yang cukup sederhana”Keadaan disonansi kognitif dikatakan sebagai keadaam ketidaknyaman psikologis atau ketegangan yang memotivasi usaha-usaha untuk mencapai konsonansi. Disonansi adalah sebutan ketidakseimbangan dan konsonansi adalah sebutan untuk keseimbangan. Brown menyatakan teori ini memungkinkan dua elemen untuk melihat tiga hubungan yang berbeda satu sama lain. Mungkin saja konsonan(consonant),disonansi(dissoanant), atau tidak relevan(irrelevan). Hubungan konsonan(consonant relationship) ada antara dua elemen ketika dua elemen tersebut pada posisi seimbang satu sama lain. Jika anda yakin, misalnya, bahwa kesehatan dan kebugaran adalah tujuan yang penting dan anda berolahraga sebanyak tiga sampai lima kali dalam seminggu, maka keyakinan anda mengenai kesahatan dan perilaku anda sendiri akan memiliki hubungan yang konsonan antara satu sama lain. Hubungan disonansi(dissonant relationship) berarti bahwa elemen-elemennya tidak seimbang satu dengan lainnya. Contoh dari hubungan disonan antarelemen adalah seorang penganut katolik yang mendukung hak perempuan untuk memilih melakukan aborsi. Dalam kasus ini, keyakinan keagamaan orang itu berkonflik dengan keyakinan politiknya mengenai aborsi. Hubungan tidak relevan (irrelevan relationship) ada ketika elemen-elemen tidakmengimplikasikan apa pun mengenai satu sama lain. Pentingnya disonansi kognitif bagi peneliti komunikasi ditunjukkan dalam pernyataan Festinger bahwa ketidaknyaman yang disebabkan oleh disonansi akan mendorong terjadinya perubahan. Asumsi: Teori disonansi kognitif adalah menjelaskan mengenai keyakinan dan perilaku mengubah sikap. Teori ini berfokus pada efek inkonsistensi yang ada diantara kognisi-kognisi. 4 asumsi dasar dari teori ini: 1. Manusia memiliki hasrat akan adanya konsistensi pada keyakinan, sikap, dan perilakunya. Penjelasan: menekankan sebuah model mengenai sifat dasar dari manusia yang mementingkan adalnya stabilitas dan konsistensi. Teori ini menyatakan bahwa orang tidak akan menikmati inkonsistensi dalam pikiran dan keyakinan mereka. Sebaliknya, mereka akan mencari konsistensi. 2. Disonansi diciptakan oleh inkonsistensi psikologis. Penjelasan: berbicara mengenai jenis konsistensi yang penting bagi orang. Teori ini tidak berpegang pada konsistensi logis yang kaku. Sevaliknya teori ini merujuk pada fakta bahwa kognisi-kognisi harus tidak konsisten secara psikologis(dibandingkan tidak konsisten secara logis) 3. Disonansi adalah perasaan tidak suka yang mendorong orang untuk melakukan tindakan-tindakan dengan dampak yang dapat diukur. Penjelasan: menyatakan bahwa ketika orang mengalami inkonsistensi psikologis disonansi tercipta menimbulkan perasan tidak suka. Jadi orang tidak senang berada dalam keadaan disonansi, hal itu merupakan suatu keadaan yang tidak nyaman 4. Disonansi mendorong usaha untuk memperoleh konsonansi dan usaha untuk mengurangi disonansi. Penjelasan: untuk menghindari situasi yang menciptakan inkonsistensi dan berusaha mencari situasi yang mengembalikan konsistensi. Jadi, gambaran akan sifat dasar manusia yang membingkai teori ini adalah sifat dimana manusia mencari konsistensi psikologis sebagai hasil dari rangsangan yang disebabkan oleh kondisi ketidaksenangan terhadap kognisi yang tidak konsisten Konsep dan Proses Disonansi Kognitif Ketika teoretikus disonansi berusaha untuk melakukan prediksi seberapa banyak ketidaknyaman atau disonansi yang dialami seseorang, mereka mengakui adanya konsep tingkat disonansi. Tingkat disonansi (magnitude of dissonance) merujuk kepada jumlah kuantitatif disonansi yang dialami oleh seseorang. Tingkat disonansi akan menentukan tindakan yang akan diambil seseorang dan kognisi yang mungkin ia gunakan untuk mengurangi disonansi. Teori CDT membedakan antara situasi yang menghasilkan lebih banyak disonansi dan situasi yang menghasilkan lebih sedikit disonansi. Tingkat disonansi 3 faktor yang dapat mempengaruhi tingkat disonansi yang dirasakan seseorang (Zimbardo, ebbsen&Maslach, 1977) : 1. Kepentingan, atau seberapa signifikan suatu masalah, berpengaruh terhadap tingkat disonansi yang dirasakan. Menghubungkan fenomena yang terjadi di lingkungan selalu dihubungkan dengan kepentingannya sendiri. Melakukan disonansi sarat akan kepentingan. 2. Rasio disonansi atau jumlah kognisi disonan berbanding dengan jumlah kognisi yang konsonan. Terkena pada anak-anak abnormal. Mengalami penyimpangan rasio pada tingkat intelejensi rendah. 3. Rasionalitas yang digunakan individu untuk menjustifikasi inkonsistensi. Faktor ini merujuk pada alasan yang dikemukan untuk menjelaskan mengapa sebuah inkonsistensi muncul. Makin banyaka alasan yang dimiliki seseorang untuk mengatasi kesenjangan yang ada, maka semakin sedikit disonansi yang seseorang rasakan. Membenarkan perilaku dirinya sendiri walaupun itu salah. Disonansi Kognitif dan Persepsi Teori CDT berkaitan dengan proses pemilihan terpaan (selective exposure), pemilihan perhatian (selective attention), pemilihan interpretasi(selective interpretation), dan pemilihan retensi (selective retention) karena teori ini memprediksi bahwa orang akan menghindari informasi yang meningkatkan disonansi. Proses perseptua; ini merupakan dasar dari penghindaran ini. 1. Terpaan Selektif (Selective Exposure): Mencari informasi yang konsisten yang belum ada, membantu untuk mengurangi disonansi. CDT memprediksikan bahwa orang akan menghindari informasi yang meningkatkan disonansi dan mencari informasi yang konsisten dengan sikap dan prilaku mereka. 2. Pemilihan Perhatian (Selective Attention): Merujuk pada melihat informasi secara konsisten begitu konsisten itu ada. Orang memperhatikan informasi dalam lingkungannya yang sesuai dengan sikap dan keyakinannya sementara tidak menghiraukan informasi yang tidak konsisten. 3. Interpretasi Selektif(Selective Interpretation): Melibatkan penginterpretasikan informasi yang ambigu sehingga menjadi konsisten. Dengan menggunakan interpretasi selektif, kebanyakan orang menginterpretasikan sikap teman dekatnya sesuai dengan sikap mereka sendiri daripada yang sebenarnya terjadi(Bescheid&Walster,1978). 4. Retensi Selektif(Selective Retention): Merujuk pada mengingat dan mempelajari informasi yang konsisten dengan kemampuannya yang lebih besar dibandingkan yang kita akan lakukan terhadap informasi yang konsisten dengan kemampuan yang lebih besar dibandingkan yang kita lakukan terhadap informasi yang tidak konsisten. http://publicrelationeasy.wordpress.com/2009/08/27/teori-disonansi-kognitif/

HISTORIOGRAFI AWAL KRISTEN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejarah adalah perjuangan identitas, inilah makna dari sejarah yang tepat bagi para sejarawan Kristen di Kerajaan Romawi pada masa awal Kristen mulai bangkit. Ketika masyarakat beserta penguasa sebagian besar masih menganut paganisme dan umat Kristen pada saat itu merupakan minoritas, tetapi perjuangan para sejarawan Kristen saat itu yang telah menyusun naskah-naskah dan buku-buku layak diberi apresiasi. Lagipula apa yang dilakukan oleh para misionaris kuno tersebut tidak sia-sia, dengan penetapan agama Kristen sebagai agama negara pada masa Kaisar Konstatinus sebagai penguasa pada masa itu. (http://cak-faris.blogspot.com/2009/07/historiografi-kristen-pada-masa-awal.html). Ketika berbicara mengenai Sejarah Kristen di masa awal, bukan hanya pertarungan identitas saja yang menjadi fokus penulisan, tetapi juga pengakuan akan kebenaran agama mereka. Hal ini tercakup pada naskah injil yang ditulis oleh para sahabat dan murid Yesus sendiri. Dalam naskah-naskah tersebut lebih bersifat kronik berisi pengalaman-pengalaman mereka bersama Yesus. Salah satunya adalah Injil Yudas, yang ditemukan sekitar tahun 1970-an. Injil Yudas ini berisi mengenai sifat-sifat pribadi Yudas dalam ketaatannya pada Yesus. Naskah kuno seperti inilah yang menjadi historiografi-historiografi kristen awal. Sehingga dapat dikatakan bahwa tulisan-tulisan sejarah yang ditulis oleh beberapa murid dan sahabat Yesus merupakan sumber primer mengenai sejarah Kristen di masa awal. Tulisan-tulisan tersebut juga bersifat sebagai kitab suci yang digunakan sebagai alat dakwah bagi penyebaran agam Kristen di dunia. Injil-injil pada masa awal kelahiran kristen inilah yang menjadi pegangan pokok bagi para misionaris. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis mencoba menjelaskan mengenai Historiografi pada masa awal perkembangan agama Kristen serta penulisan yang menghasilkan karya pada masa tersebut dengan Judul “Historiografi Awal Kristen”. 1.2. Rumusan Masalah Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana perkembangan penulisan sejarah pada masa awal Kristen 2. Siapa tokoh-tokoh penulis dan hasil karyanya pada masa awal Kristen 3. Bagaimana akhir penulisan pada masa awal Kristen 1.3. Tujuan Penulisan Adapun yang menjadi tujuan penulisan makalah ini adalah menjelaskan substansi sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan perkembangan historiografi pada masa awal Kristen 2. Memaparkan penulis-penulis dan hasil karyanya pada awal Kristen 3. Mendeskripsikan akhir penulisan pada masa awal Kristen 1.4. Metode Pemecahan Masalah Metode penulisan yang digunakan dalam menyelesaikan penyusunan makalah ini yaitu menggunakan metode studi literatur dengan mengumpulkan berbagai sumber (sumber buku dan internet) yang berkaitan dengan tema “Perkembangan Historiografi Pada Masa Awal Kristen” . 1.5. Sistematika Penulisan Bab I : dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang penulisan, rumusan masalah, tujuan penulisan makalah, metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini, dan sistematika penulisan. Bab II : dalam bab ini merupakan bab isi pembahasan masalah berisi mengenai perkembangan awal historiografi, penulis-penulis dan karyanya, dan akhir masa penulisan masa awal Kristen. Bab III : dalam bab ini merupakan bab penutupan berisi kesimpulan dari pembahasan. BAB II HISTORIOGRAFI AWAL KRISTEN 2.1. Perkembangan Awal Historiografi Awal Kristen Agama Kristen pada awal perkembangannya telah menyebabkan terjadinya perubahan besar terhadap penulisan sejarah. Namun seiring dengan perubahan itu, karya-karya para sejarawan Yunani dan Romawi pada umumnya diabaikan karena dianggap sebagai hasil dari pemikiran “orang-orang belum beragama” (pagan). Sikap pemikiran sempit itu tentu saja memusuhi setiap pencapaian dari kebudayaan “pagan” ini, tetapi penafsiran mereka dicondongkan sedemikian rupa untuk membuat agama Kristen bisa disukai.(Grawronski, 1969: 69-70). Semangat anti-pagan dan perjuangan penyebaran agama Kristen mendasari dibuatnya karya-karya historiografis oleh tokoh-tokoh agama Kristen saat itu. Salah satunya yang cukup kelihatan dalam memperjuangkan agama Kristen dalam kancah politik perkotaan kota Roma adalah karya Agustinus yang berjudul De Civitate Dei (City of God). City of God dibuat oleh Agustinus sebagai jawaban atas serangan-serangan kaum pagan yang menyalahkan kekristenan sebagai penyebab keruntuhan Kerajaan Romawi, karena pada saat itu Kota Roma sedang dikuasai oleh kaum Visigoth yang mengakibatkan Kerajaan Romawi terkoyak-koyak akibat serangan Visigoth tersebut (Collins, Michael, 2006: 68-71). (http://cak-faris.blogspot.com/2009/07/historiografi-kristen-pada-masa-awal.html). 2.2. Penulis-penulis Awal Kristen a. Eusebius Pamphilus (260 – 340) Gambar 2.1. Eusebius Pamphilus Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Eusebius_dari_Kaisaria Eusebius merupakan Uskup dari Caesaria (Kaisaria), sering disebut juga Eusebius Pamfili, "Eusebius sahabat Pamfilus dari Kaisaria", adalah seorang Uskup di Kaisaria, Palestina. Ia sering disebut sebagai seorang Bapak Sejarah Gereja karena karyanya dalam mencatat sejarah Gereja Kristen awal. (http://id.wikipedia.org/wiki/Eusebius_dari_Kaisaria). Eusbius mulai menulis sebelum tahun 303 M. Karyanya ialah Chronicle merupakan dasar untuk memberikan latar belakang sejarah dan kronologis bagi buku yang disampaikan yaitu Ecclesiastical History (sejarah gereja) mengenai kehidupan dan karya dari para gerejawan terkemuka. Gambar 2.2. Ecclesiastical History yang ditulis ulang Sumber : http://commons.wikimedia.org/wiki/File:Ecclesiastical_History_of_Eusebius_Pamphilus,_1842 , http://www.kosovo.net/book2.gif , dan http://www.catholica.com.au/misc/bookimages/EcclesiasticalHistoryEusebius_210x310.jpg. Chronicle dibagi atas dua bagian yaitu Chronographia dan Chronological Canons. Chronographia adalah rangkuman dari sistem penanggalan klasik (pagan), penanggalan Yahudi, dan singkatan dari sejarah umum dari berbagai negara yang berasal dari penulis-penulis sejarah sebelumnya (tentang Khaldes, Yahudi, Mesir,Yunani, dan Romawi). Chronological Canons merupakan hasilbuah pikiran dari Eusebius. Peristiwa-peristiwa dalam sejarah dibagi atas dua kategori yaitu sakral (Yahudi-Kristen) dan profan (pagan: Yunani dan Romawi) yang disinkronkan dalam dua kolom paralel. Peristiwa-peristiwa dalam sejarah sakral ditempatkan pada kolom kiri penanggalan, sedangkan peristiwa-peristiwa sejarah profan di kolom kanan. Sebuah kronologis singkat injil dimulai sejak Penciptaan (Creation), tetapi kronologi perbandingan yang rinci baru dimulai dari penanggalan kelahiran Abraham (Ibrahim) (2016 SM). sejak saat itu, sejarah kronologis dibagi menjadi atas lima zaman yaitu 1. Abraham sampai perebutan kota Troya 2. Perebutan kota Troya sampai Olimpiade pertama 3. Olimpiade pertema sampai pemerintahan tahun kedua dari Darius 4. Pemerintahan kedua dari Darius dampai kematian Kristus 5. Kematian Kristus sampai tahun keduapuluh pemerintahan Kaisar Konstantin. Eusebius menulis dalam bahasa Yunani sedangkan pada waktu itu hanya sedikit sarjana yang dapat menggunakan bahasa itu di Empirium Romawi Barat yang beragama Kristen. Oleh ebab itu karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh pendeta terpelajar, St. Jerome.(Barnes, 1963: 46-47). b. St. Jerome (340 – 420) Gambar 2.3. St. Jerome Sumber : http://blog.theologika.net/2008/09/30/saint-of-the-day-st-jerome-september-30/. St. Jerome lahir di Aquilea, Dalmati. Jerome dididik di Roma. Dia tertarik dalam belajar segala hal, tetapi terutama tertarik pada puisi klasik. Suatu malam dalam mimpi ia diperintahkan untuk mengabdikan dirinya kepada Injil. Setelah kebangkitan, Jerome memutuskan untuk mengabdikan hidupnya untuk mempelajari firman Tuhan. Seperti banyak orang sezamannya, Jerome memutuskan untuk menjadi pertapa. Dia mundur ke padang gurun untuk menjalani kehidupan yang keras, meskipun ia tidak mengambil buku-bukunya dengan dia. Alih-alih Latin ia belajar bahasa Ibrani, dan ia mengabdikan dirinya untuk menulis. Dia tinggal di antara pertapa lain, yang berhasil masuk di bawah kulitnya. Setelah empat tahun, kecewa oleh pengalaman, dia keluar dari pertapaannya, mengatakan, "Lebih baik hidup di antara binatang buas daripada di antara orang-orang Kristen seperti itu!" (http://www.netplaces.com/saints/literary-saints/st-jerome-c-340420.htm). Pada tahun 379, St. Jerome menerjemahkan Chronicle ke dalam bahasa Latin dari Eusebius dengan revisi dan tambahan tertentu. Chronograpia diterjemahkan tanpa perubahan-perubahan penting. Agar dapat digunkan di negara Barat, ia menambahkan fakta-fakta sejarah umum pada terjemahan Chronogical Canons, terutama berhubungan dengan sejarah dan sastra Romawi. Terjemahan Chronicle oleh Jerome ini menjadi dasar kronologi yang dipercayai di dunia Kristen Barat. (Barnes, 1963: 47). Karya Jerome sendiri ialah De Viris Illustribus (Ilustrious Men, orang-orang terkenal) yang ditulis di Bethlehem tahun 392. Ini merupakan koleksi formal pertama tentang biografi dari orang-orang Kristen terkemuka. Tulisannya ini merupakan sanggahan terhadap penulis-penulis “pagan” yang menyindir orang-orang Kristen tidak mempunyai bakat sastra, buta huruf dan masa bodoh. Jerome menyangkal dengan menunjukkan sejumlah tokoh-tokoh Kristen terkemuka dan berbakat. Model koleksi biografi dari Jerome ini kelak dicontohkan oleh penulis-penulis kemudian sehingga merupakan salah satu bentuk historiografi yaitu biografi sejarah. (Barnes, 1963: 53). Gambar 2.4. De Viris Illustribus Sumber : http://www.flickr.com/photos/58558794@N07/5512291737/ c. St.Augustinus (354 – 430) Gambar 2.5. St. Augustinus Sumber : http://sangsabda.files.wordpress.com/2010/01/250px-saint_augustine_by_philippe_de_champaigne.jpg St. Augustinus adalah penulis terbesar dari masa Kristen awal yang memberikan sumbangan penting bagi disiplin sejarah. St. Agustinus yang dilahirkan oleh pasangan Monika dengan Patrisius tanggal 13 November 354 di Afrika Utara, umur semenjak kecil sudah dididik agama oleh Monika yang saleh. Tetapi karena pengaruh lingkungan keluarganya yang masih kafir bibit iman itu tidak segera tumbuh seperti biji gandum tumbuh di semak berduri. Umur 18 tahun Agustinus mengambil langkah mencengangkan mata. Bukannya dia semakin dekat dengan Tuhan dan bertobat tetapi ia meninggalkan imannya dan memeluk ajaran Manikeisme yang sesat. Semakin menggelisahkan hati Monika, ibunya, di luar perkawinan yang sah, ia hidup dengan seorang wanita selama 12 tahun hingga melahirkan seorang anak, Deodatus.Permasalahan tersebut menimbulkan konflik dalam keluarga antaraAgustinus dengan Monika. Untuk menghindarkan konflik tersebut ia lari meninggalkan kampung halamannya untuk memperdalam ilmunya di Universitas Carthago dengan bantuan tetangganya yang kaya. (http://www.parokiparung.com). Tahun 383 ia pergi ke Roma lalu ke Milano, tempat tinggal Uskup Ambrosius. Tahun 386 SM ia mendapat karier yang bagus di kantor gubernur provinsi, banyak teman, tetapi menjalani hidup penuh dosa. Tahun 387 berkat bimbingan St Ambrosius dan doa Monika ibunya, ia dibabtis tahun 387. (http://joshevand.wordpress.com/2010/01/27/santo-agustinus-354-430/). St. Augustinus memiliki banyak keahlian dibeberapa disiplin ilmu diantaranya ahli teologi, filosof, pendeta, penyair, dan pemikir politik. Dalam karyanya yang terbesar berjudul De Civitate Dei ( The City Of God, Kota Tuhan) tidak seperti karya-karya para penulis “pagan” yang telah merasa puas dengan penafsiran siklus, ia menawarkn suatu tujuan (pandangan teologis) untuk sejarah. Tulisan ini merupakan sumbangan penting bagi filsafat sejarah. (Thompson, 1958: 136-137; Collins, Michael, 2006, 68-69). Gambar 2.6 De Civitate Dei ( The City Of God, Kota Tuhan) Sumber : http://smu.edu/bridwell_tools/specialcollections/schoeffer/06062.jpg dan http://smu.edu/bridwell_tools/specialcollections/schoeffer/06062detail.jpg The City of God menggambarkan proses sejarah sebagai pernyataan dari pergulatan antara kekuatan Baik dan Jahat, antara “City of God” dari masyarakat yang percaya kepada Tuhan Hebrew dan Kristen, melawan “City of Satan” dari masyarakat pagan dan non-Kristen lain yang berakhir dengan kemenangan yang pertama (Barnes, 1963: 43). Sejarawan-sejarawan Kristen telah merumuskan pertama kali filsafat sejarah yang sesungguhnya. Juga penulis-penulis Kristen awal mencoba menegakkan suatu warisan yang dapat bertahan lama untuk kepercayaan mereka dalam usaha untuk menarik orang-orang ke dalam agama mereka. Ini mereka dapat lakukan dengan menggunakan Perjanjian Lama sebagai sebuah dokuman sejarah. Tetapi untuk menunjukkan kelanjutan antara pikiran Hebrew dengan Kristen, mereka merasakan perlu untuk mengembangkan kronologi dari masa lalu. Jadi itu sebabnya Cronicle dari Jerome, sebuah terjemahan dan penguatan dari karya Eusebius, menjadi dasar bagi perhitungan kronologis dalam dunia Barat dan menjadi dasar dari suatu sistem yang berlangsung sampai masa modern. 2.3. Perkembangan Akhir Historiografi Awal Kristen Dapat terlihat jelas bahwa historiografi pada masa itu merupakan persaingan antara kelompok Kristen dengan Pagan. Kaum Kristen menghendaki adanya pengakuan status mereka sebagai warga Roma dan berjuang untuk penyebaran agama Kristen, sementara kaum pagan menolak hadirnya agama baru tersebut dan selalu mengkambinghitamkan agama Kristen dalam proses kemunduran Kerajaan Romawi (Hardawiryana, 2003: 54). Dari peristiwa-peristiwa yang berlangsung pada masa itu, terutama yang berkaitan dengan pertempuran antara paganisme dengan kristen, dapat terlihat bahwasanya Thedassius dalam mengeluarkan dekrit untuk membentuk agama Kristen sebagai agama negara, dan juga Konstantin I yang menjadi seorang raja Kristen pertama dan menetapkan sejumlah regulasi baru mengenai Kristen adalah hal yang mungkin dipaksakan untuk menciptakan kedamaian di negeri itu. Roma yang diambang perpecahan antara Kristen dan pagan tentunya membuat Konstantin harus berpikir keras mengenai solusi tepat bagi keduanya. Akibat inilah teori sejarawan modern mengenai penggabungan agama Kristen dan pagan yang dicetuskan pada Konsili Nicea muncul. Dengan jatuhnya peradaban Romawi di Barat tahun 476 M, aliran pertama terkemuka historiografi Eropa muncul. Zaman Abad Pertengahan mulai dan Eropa mulai berevolusi. (Gawronski, 1969: 69-71). BAB III KESIMPULAN Sejarawan Kristen awal mencoba untuk merumuskan filsafat sejarah yang sesungguhnya dengan melakukan perbandingan dan bahkan anti “pagan”. Semangat anti-pagan dan perjuangan penyebaran agama Kristen mendasari dibuatnya karya-karya historiografis oleh tokoh-tokoh agama. Masyarakat pagan merupakan masyarakat yang dianggap oleh masyarakat Kristen sebagai aliran sesat atau pemuja setan. Eusebius, St. Jerome, dan St. Augustinus merupakan penulis-penulis yang menghasilkan karya sebagai karakteristik historiografi pada masa tersebut, dimana agama sebagai orientasi penulisan sejarah. Kristen saat itu mempengaruhi dan menarik orang-orang ke dalam agama mereka dengan menggunakan Kitab Suci Perjanjian Lama sebagai dokumen sejarah. Jatuhnya peradaban Romawi di Barat tahun 476 M, aliran pertama terkemuka historiografi Eropa muncul. Zaman Abad Pertengahan mulai dan Eropa mulai berevolusi. DAFTAR PUSTAKA Barnes, Harry Elmer. (1963). A History of Historical Writing, New York: Dover Publications, Inc. Collins, Michael. (2006). The Story of Christianity, Terjemahan, Yogyakarta: Kanisius. Evander, George. (2010). Santo Agustinus (354-430). [Online]. Tersedia: http://joshevand.wordpress.com/2010/01/27/santo-agustinus-354-430/. [14 September 2011]. Faris. (2009). Historiografi Kristen Pada Masa Awal: Sebuah Perjuangan Identitas. [Online]. Tersedia: http://cak-faris.blogspot.com/2009/07/historiografi-kristen-pada-masa-awal.html. [13 September 2011]. Gawronski, Donald V. (1969). History: Meaning and Method. Glenview, Illnois: Scott, Foresman and Company. Hardawiryana, R. (203). Dokumen Konsili Vatikan II. Terjemahan, Jakarta: Obor. Sjamsuddin, Helius. (2011). Perkembangan Historiografi. Draft Bahan Kuliah Program Pendidikan Sejarah S2 Sekolah Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Tidak diterbitkan. Stanford Encyclopedia of Philosophy. Saint Augustine. [Online]. Tersedia: http://plato.stanford.edu/entries/augustine/. [14 September 2011]. Tompson, James Westfall. (1958). A History of Historical Writting, 2 Jilid. New York: The Macmillan. Wikipedia. (2010). Eusebius of Caesarea. [Online]. Tersedia: http://en.wikipedia.org/wiki/Eusebius_of_Caesarea. [14 September 2011].

SILOGISME ARISTOTELES

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu filosuf yang dianggap sangat berjasa dalam meletakkan sendi-sendi pertama rasionalitas Barat adalah Aristoteles, yang merupakan murid Plato. Meskipun diantara keduanya terdapat perbedaan-perbedaan pandangan, tetapi Aristoteles dianggap sebagai murid yang mewarisi pemikiran-pemikiran gurunya, dan dianggap sebagai salah satu tokoh penggerak zaman. (http://darunnajah.ac.id/?act=news&kategori=Artikel&id=19). Aristoteles sependapat dengan gurunya Plato, yaitu tujuan terakhir daripada filosofi adalah pengetahuan tentang wujud/adanya dan yang umum. Dia juga mempunyai keyakinan tentang kebenaran yang sebenarnya hanya dapat dicapai dengan jelas pengertian, bagaimana memikirkan adanya itu? Menurut Aristoteles adanya itu tidak dapat diketahui dari materi benda belaka, tidak pula dari pemikiran yang bersifat umum semata. Seperti pendapat Plato tentang adanya itu terletak dalam barang satu-satunya, selama barang tersebut ditentukan oleh yang umum. Pandangannya juga yang realis dari pandanganan Plato yang selalu didasarkan pada yang abstrak. Ini semua disebabkan dari pendidikannya diwaktu kecil yang senantiasa mengharapkan adanya bukti dan kenyataan. Ia terlebih dahulu memandang yang konkrit, bermula dari mengumpulkan fakta-fakta yang ada kemudian disusun menurut ragam dan jenis atau sifatnya dalam suatu sistem setelah itu ia meninjaunya kembali dan disangkutpautkan satu sama lain. Bila orang-orang shopis banyak yang menganggap manusia tidak akan mampu memperoleh kebenaran, Aristoteles dalam metaphysics menyatakan abahwa manusia dapat mencapai kebenaran. Tuhan itu menurut Aristoteles berhubungan dengan dirinya sendiri. Ia tidak berhubungan dengan (idak memperdulikan) alam ini. Ia bukan pesona, ia tidak memperhatikan doa dan keinginan manusia. Dalam mencintai tuhan kita tidak usah mengharapkan ia mencintai kita. Ia adalah kesempurnaan tertinggi dan kita mencontoh ke sana untuk perbuatan dan pikiran-pikiran kita. Pandangan filsafatnya tentang etika adalah bahwa etika adalah sarana untuk mencapai kebahagiaan dan merupakan sebagai barang yang tertinggi dalam kehidupan. Etika dapat mendidik manusia supaya memiliki sikap ayang pantas dalam segala perbuatan. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa kebaikan terletak ditengah-tengah antara dua ujung yag paliang jauh. Contohnya pemberani adalah sifat baik yang terletak di antara pengecut dan nekad, dermawan terletak di antara kikir adan pemboros, renadah hati terletak diantara berjiwa budi dan sombong, dan lain sebagainya. Orang harus pandai mengusai diri agar tidak terombang-ambing oleh haw nafsu. Namuna, dalam pemahamannya selain dalam permasalahan etik ia juga menyinggung masalah tentang nilai-nilai matematika, fisika, astronomi dan filsafat. Ia menyatakan bahwa putra-putri semu warga negara sebaiknya diajar sesuai dengan kemampuan mereka, sesuatu pandangan mereka yang sama dengan doktrin Plato tentang keberadaan individual, disiplin merupakan hal yang essensial untuk mengajarkan para apemuda daan kaum laki-laki muda untuk mematuhi perintah-perintah dan mengendalikan gerakan ahati mereka. Aristoteles seorang filusuf yang terbesar, memberikan definisi bahwa manusia itu adalah hewan yang berakal sehat yang mengeluarkan pendapatnya yang bebicara berdasarkan akal pikirannya. (http://dakir.wordpress.com/2009/04/18/filsafat-aristoteles/). Aristoteles adalah orang pertama yang menulis satu sistematika atas logika formal dan logika dialektik, sebagai cara menyusun pikiran. Tujuan dari logika formal adalah untuk menyediakan kerangka kerja untuk membedakan argumen yang sahih dan yang tidak sahih. Hal ini dilakukannya dalam bentuk silogisme. Ada berbagai bentuk silogisme, yang sebenarnya merupakan varian dari tema yang sama.(http://dunia-filsafat.blogspot.com/2010/05/apa-itu-silogisme.html). 1.2. Rumusan Masalah Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana Perjalanan Aristoteles? 2. Bagaimana pengetian dari Silogisme Aristoteles? 3. Bagaimana perkembangan Silogisme Aristoteles? 4. Bagaimana pengaruh pemikiran Aristoteles? 1.3. Tujuan Penulisan Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana Perjalanan Aristoteles? 2. Bagaimana pengetian dari Silogisme Aristoteles? 3. Bagaimana perkembangan Silogisme Aristoteles? 4. Bagaimana pengaruh pemikiran Aristoteles? 1.4. Metode Pemecahan Masalah Metode penulisan yang digunakan dalam menyelesaikan penyusunan makalah ini yaitu menggunakan metode studi literatur dengan mengumpulkan berbagai sumber (sumber buku dan internet) yang berkaitan dengan tema Silogisme Aristoteles. 1.5. Sistematika Penulisan Bab I : dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang penulisan, rumusan masalah, tujuan penulisan makalah, metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini, dan sistematika penulisan. Bab II : dalam bab ini merupakan bab isi pembahasan masalah berisi mengenai perjalanan Aristoteles, pengertian silogisme Aristoteles, perkembangan silogisme Aristoteles, dan pengaruh pemikiran Aristoteles. Bab III : dalam bab ini merupakan bab penutupan berisi kesimpulan dari pembahasan. BAB II SILOGISME ARISTOTELES 1.1. Perjalanan Aristoteles Aristoteles dikenal dunia sebagai salah satu filsuf terbesar sepanjang sejarah. Berbagai tulisannya menjadi dasar pengembangan ilmu filsafat, fisika, metafisika, politik, pemerintahan, dan pengetahuan alam. Dua filsuf lainnya yang dianggap paling berpengaruh dalam khasanah pemikiran di Eropa adalah Plato dan Socrates. Aristoteles juga murid yang menjadi salah satu tokoh berpengaruh di muka bumi yaitu Alexander agung. Aristoteles lahir di Stagira Chalcidice, Thracia, Yunani tahun 384 SM. Ia keturunan seorang ahli pengobatan dari Makedonia. Aristolteles bergelut dengan pemikiran dan pengetahuan sejak usia 17 tahun. Ia berguru dengan Plato yang dikemudian menjadi pengajar di Akademi Plato selama kurang lebih 20 tahun. Ketika muridnya (Alexander Agung) berkuasa di Makedonia, Aristoteles kembali ke Yunani dan mendirikan akademi yang diberi nama Lyceum. Setelah kekuasaan Alexander melemah dan akhirnya jatuh, Aristoteles hidup di pelarian untuk menghindari pembunuhan seperti dialami Socrates. Ia akhirnya meninggal dalam pengungsian tahun 322 SM.(http://id.wikipedia.org/wiki/Aristoteles) Filsafat Aristoteles tertulis dalam enam karya tulisnya yang membahas masalah logika, yang member sumbangan besar bagi perkembangan bidang Metafisika, Fisika, Etika, Politik, Ilmu Kedokteran, Ilmu Alam dan karya seni. Di bidang ilmu alam, ia orang pertama yang mengklasifikasikan spesies-spesies biologi secara sistematis. Aristoteles menjelaskan bahwa materi tidak mungkin tanpa bentuk karena ia ada (eksis). Pemikiran lainnya berkaitan dengan gerak. Ia menjelaskan semua benda bergerak menuju satu tujuan, Karena benda tidak dapat bergerak sendiri, maka harus ada penggerak dimana penggerak itu harus mempunyai penggerak lainnya hingga tiba pada penggerak pertama yang tak bergerak yang kemudian disebut dengan theos, yaitu yang dalam pengertian Bahasa Yunani sekarang dianggap berarti Tuhan. Logika Aristoteles lebih bersifat deduktif, yang sampai saat ini masih dianggap sebagai dasar dari pengetahuan tentang logika formal.Namun dalam ia menyadari pula pentingnya observasi, eksperimen dan berpikir induktif. Sumbangan penting Aristoteles yang lain adalah silogisme yang digunakan untuk menarik kesimpulan dari dua kebenaran yang telah ada. Di bidang politik, Aristoteles percaya bahwa bentuk politik yang ideal adalah gabungan dari bentuk demokrasi dan monarki. Pandangan Aristoteles tentang seni dituangkan dalam buku Poetike. Menurut Aristoteles keindahan menyangkut keseimbangan ukuran yakni ukuran material. Menurut Aristoteles sebuah karya seni adalah sebuah perwujudan artistik yang merupakan hasil chatarsis disertai dengan estetika. Chatarsis adalah pengungkapan kumpulan perasaan yang dicurahkan ke luar. Kumpulan perasaan itu disertai dorongan normative. Dorongan normatif yang dimaksud adalah dorongan yang akhirnya memberi wujud khusus pada perasaan tersebut. Aristoteles juga mendefinisikan pengertian sejarah yaitu satu sistem yang meneliti suatu kejadian sejak awal dan tersusun dalam bentuk kronologi. Sejarah adalah peristiwa-peristiwa masa lalu yang mempunyai catatan dan bukti-bukti yang konkrit. Aristoteles sangat menekankan empirisme untuk menekankan pengetahuan. Ia mengatakan bahwa pengetahuan dibangun atas dasar pengamatan dan penglihatan (http://www.biografitokohdunia.com/2011/03/biografi-aristoteles.html). 1.2. Pengertian Silogisme Silogisme adalah cara berpikir logis, yang dapat digambarkan dengan berbagai cara. Definisi yang diberikan Aristoteles sendiri adalah sebagai berikut: "Satu diskursus di mana berbagai hal dinyatakan, hal-hal lain yang tidak dinyatakan harus mengikuti apa yang dinyatakan karena hal-hal itu dinyatakan demikan." Definisi yang paling sederhana diberikan oleh A. A. Luce: "Sebuah silogisme adalah satu triad [pasangan ganda tiga] dari proposisi yang yang saling berhubungan, terhubung sedemikian rupa sehingga salah satu dari ketiganya, yang disebut Kesimpulan, harus mengikuti kedua pernyataan yang lain, yang disebut Premis."( http://dunia-filsafat.blogspot.com/2010/05/apa-itu-silogisme.html). Orang-orang Terpelajar dari abad pertengahan memusatkan perhatian mereka pada jenis logika formal yang dikembangkan Aristoteles dalam The Prior and Posterior Analytics. Dalam bentuk inilah logika Aristoteles diwariskan sampai Abad Pertengahan. Dalam prakteknya, silogisme ini mengandung dua premis dan satu kesimpulan. Subjek maupun predikat dari kesimpulan masing-masing muncul dalam salah satu dari kedua premis, bersama dengan bagian ketiga (termin tengah) yang ditemukan dalam kedua premis, tapi tidak di dalam kesimpulan. Predikat dari kesimpulan adalah termin mayor; premis di mana ia terkandung disebut premis mayor; subjek dari kesimpulan adalah termin minor; dan premis di mana ia terkandung disebut premis minor. Contohnya, a) Semua manusia adalah fana. (Premis mayor) b) Caesar adalah seorang manusia. (Premis minor) c) Dengan demikian, Caesar adalah fana. (Kesimpulan) Ini disebut satu pernyataan kategorikal afirmatif. Pernyataan ini memberi kesan sebagai sebuah rantai logis dari sebuah argumen, di mana tiap tahap niscaya diturunkan sebagai hasil dari tahap sebelumnya. Tapi, sebenarnya, bukan itu yang terjadi, karena "Caesar" sebenarnya telah termasuk dalam himpunan "semua manusia". Kant, seperti Hegel, menganggap rendah silogisme ("doktrin yang bertele-tele," ujar Kant). Baginya, silogisme "tidaklah lebih dari sekedar satu tipuan" di mana kesimpulan sebenarnya telah disisipkan tersembunyi dalam premis sehingga kesan berpikir yang ditimbulkannya adalah palsu.(http://dunia-filsafat.blogspot.com/2010/05/apa-itu-silogisme.html). Jenis lain silogisme berbentuk kondisional (jika ... maka ...), contohnya: "Jika seekor hewan adalah seekor harimau, maka ia adalah pemakan daging." Ini adalah cara lain untuk menyatakan hal yang sama dengan pernyataan kategorikal afirmatif, yaitu, semua harimau adalah pemakan daging. Hubungan yang sama terjadi pada bentuk negatifnya - "Jika ia adalah seekor ikan, maka ia bukanlah hewan menyusui" adalah cara lain untuk menyatakan "Tidak ada ikan yang menyusui". Perbedaan formal ini menyembunyikan fakta bahwa kita belum maju selangkahpun dalam pemikiran kita. Apa yang sebenarnya baru saja ditunjukkan adalah hubungan internal antara berbagai hal, bukan hanya dalam pikiran tapi juga dalam dunia nyata. "A" dan "B" terhubung dengan satu cara tertentu terhadap "C" (bagian tengah) dan premis-premis, dengan demikian, mereka terhubung satu sama lain di dalam kesimpulan. Dengan pemahaman dan kedalaman yang dahsyat, Hegel menunjukkan bahwa apa yang ditunjukkan oleh silogisme adalah hubungan dari yang khusus ke yang umum. Dengan kata lain, silogisme itu sendiri adalah satu contoh dari kesatuan hal-hal yang bertentangan, kontradiksi dalam tingkatan paling sempurna, dan dalam kenyataannya, segala hal adalah "silogisme". Masa keemasan silogisme terjadi dalam Abad Pertengahan, ketika Orang-orang Terpelajar mengabdikan seluruh hidup mereka dalam perdebatan tanpa ujung tentang segala persoalan teologis yang kabur, seperti "apa jenis kelamin malaikat?" Konstruksi logika formal yang berbelit-belit itu membuat mereka nampak sedang terlibat dalam satu diskusi yang mendasar padahal, kenyataannya, mereka tidak sedang berdebat sama sekali. Alasannya terletak persis pada sifat logika formal itu sendiri. Seperti yang dinyatakan oleh namanya, logika ini hanya mengurusi segala yang memiliki bentuk. Masalah tentang hakikat atau isi tidak termasuk di dalamnya. Persis inilah cacat utama dari logika formal, dan sekaligus adalah urat Achilles-nya. 1.3. Perkembangan Silogisme Aristoteles Masa keemasan silogisme terjadi dalam Abad Pertengahan, ketika Orang-orang Terpelajar mengabdikan seluruh hidup mereka dalam perdebatan tanpa ujung tentang segala persoalan teologis yang kabur, seperti "apa jenis kelamin malaikat?" Konstruksi logika formal yang berbelit-belit itu membuat mereka nampak sedang terlibat dalam satu diskusi yang mendasar padahal, kenyataannya, mereka tidak sedang berdebat sama sekali. Alasannya terletak persis pada sifat logika formal itu sendiri. Seperti yang dinyatakan oleh namanya, logika ini hanya mengurusi segala yang memiliki bentuk [form]. Masalah tentang hakikat atau isi tidak termasuk di dalamnya. Persis inilah cacat utama dari logika formal, dan sekaligus adalah urat Achilles-nya. Pada masa Jaman Pencerahan, pembangkitan kembali semangat kemanusiaan, ketidakpuasan terhadap logika Aristotelian meluas dengan cepat. Terjadilah satu peningkatan reaksi melawan Aristoteles, yang sesungguhnya tidak adil terhadap pemikir besar ini, tapi sesungguhnya berakar dari fakta bahwa Gereja telah menindas segala yang berharga dalam filsafatnya, dan memelihara karikatur yang tak bernyawa dari filsafat yang sangat tinggi nilainya itu. Bagi Aristoteles, silogisme hanyalah satu proses dalam tata berpikir, dan tidak harus juga menjadi bagian yang terpenting darinya. Aristoteles juga menulis tentang dialektika, dan tapi aspek ini dilupakan. Logika dilucuti dari segala kehidupan yang dimilikinya dan diubah, mengutip Hegel, menjadi "tulang-tulang tak bernyawa." Penolakan terhadap formalisme tak bernyawa ini tercermin dalam gerakan terhadap empirisisme, yang membuahi janin penyelidikan dan percobaan ilmiah. Walau demikian, mustahillah untuk sama sekali mengabaikan sama sekali satu bentuk pemikiran, dan empirisisme telah sejak kelahirannya membawa benih-benih kehancurannya sendiri. Satu-satunya alternatif yang berharga untuk metode berpikir yang penuh kekurangan dan tidak tepat ini adalah dengan mengembangkan metode yang tepat dan tanpa kekurangan. Di akhir Abad Pertengahan, silogisme telah sama sekali dipermalukan di mana-mana, dan dihinakan dan dilecehkan. Rabelais, Petrach dan Montaigne, semua menyangkal kebenaran silogisme. Tapi silogisme masih terus bertahan, terutama di negeri-negeri Katolik, yang tidak tersentuh oleh badai yang ditiupkan oleh Reformasi Protestan. Di akhir abad ke-18, logika berada dalam keadaan yang demikian buruk sehingga Kant merasa berkewajiban untuk meluncurkan satu kritik umum terhadap bentuk-bentuk cara berpikir lama dalam bukunya “Critique of Pure Reason”. Hegel adalah orang pertama yang menempatkan hukum-hukum logika formal ke dalam analisis yang sepenuhnya kritis. Di dalam analisis ini ia menyempurnakan kerja yang telah dimulai oleh Kant. Tapi di mana Kant hanya menunjukkan kekurangan-kekurangan dan kontradiksi yang terkandung di dalam logika tradisional, Hegel maju lebih jauh, menguraikan satu pendekatan yang sama sekali berbeda terhadap logika, satu pendekatan dinamis yang akan memasukkan pergerakan dan kontradiksi ke dalam logika, dua hal yang tidak sanggup ditangani oleh logika formal. (http://dunia-filsafat.blogspot.com/2010/05/apa-itu-silogisme.html). 1.4. Pengaruh Pemikiran Aristoteles Pengaruh Aristoteles terhadap cara berpikir Barat di belakang hari sungguh mendalam. Di zaman dulu dan zaman pertengahan, hasil karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Latin, Arab, Itali, Perancis, Ibrani, Jerman dan Inggris. Penulis-penulis Yunani yang muncul kemudian, begitu pula filosof-filosof Byzantium mempelajari karyanya dan menaruh kekaguman yang sangat. Perlu juga dicatat, buah pikirannya banyak membawa pengaruh pada filosof Islam dan berabad-abad lamanya tulisan-tulisannya mendominir cara berpikir Barat. Ibnu Rusyd (Averroes), mungkin filosof Arab yang paling terkemuka, mencoba merumuskan suatu perpaduan antara Teologi Islam dengan rasionalisme Aristoteles. Maimomides, pemikir paling terkemuka Yahudi abad tengah berhasil mencapai sintesa dengan Yudaisme. Tetapi, hasil kerja paling gemilang dari perbuatan macam itu adalah Summa Theologia-nya cendikiawan Nasrani St. Thomas Aquinas. Di luar daftar ini masih sangat banyak kaum cerdik pandai abad tengah yang terpengaruh demikian dalamnya oleh pikiran Aristoteles. (file:///D:/Education%20File/All%20About%20History/seratus%20tokoh%20paling%20berpengaruh%20dalam%20sejarah.htm). Kekaguman orang kepada Aristoteles menjadi begitu melonjak di akhir abad tengah tatkala keadaan sudah mengarah pada penyembahan berhala.Dalam keadaan itu tulisan-tulisan Aristoteles lebih merupakan semacam bungkus intelek yang jitu tempat mempertanyakan problem lebih lanjut daripada semacam lampu penerang jalan. Aristoteles yang gemar meneliti dan memikirkan ihwal dirinya tak salah lagi kurang sepakat dengan sanjungan membabi buta dari generasi berikutnya terhadap tulisan-tulisannya. Beberapa ide Aristoteles kelihatan reaksioner diukur dengan kacamata sekarang. Misalnya, dia mendukung perbudakan karena dianggapnya sejalan dengan garis hukum alam. Dia percaya kerendahan martabat wanita ketimbang laki-laki. Kedua ide ini tentu saja mencerminkan pandangan yang berlaku pada zaman itu. Tetapi, tak kurang pula banyaknya buah pikiran Aristoteles yang mencengangkan modernnya, misalnya kalimatnya, “Kemiskinan adalah bapaknya revolusi dan kejahatan,” dan kalimat “Barangsiapa yang sudah merenungi dalam-dalam seni memerintah manusia pasti yakin bahwa nasib sesuatu emperium tergantung pada pendidikan anak-anak mudanya.” (Tentu saja, waktu itu belum ada sekolah seperti yang kita kenal sekarang). Di abad-abad belakangan, pengaruh dan reputasi Aristoteles telah merosot bukan alang kepalang. Namun, ada yang berpikir bahwa pengaruhnya sudah begitu menyerap dan berlangsung begitu lama sehingga saya menyesal tidak bisa menempatkannya lebih tinggi dari tingkat urutan seperti sekarang ini. Tingka turutannya sekarang ini terutama akibat amat pentingnya ketiga belas orang yang mendahuluinya dalam urutan. (http://darunnajah.ac.id/?act=news&kategori=Artikel&id=19). KESIMPULAN Aristoteles mempunyai dasar-dasar ajaran tentang filsafat yang kemudian banyak berkembang di Barat. Meskipun demikian, ada juga cendekiawan muslim yang terpengaruh oleh pemikiran filsafatnya. Dalam filsafatnya, Aristoteles bertitik tolak dari apa yang dia amati dalam hidup manusia dan hidup masyarakat. Dari praksis nyata dan data-data, dia kemudian menyimpulkan menjadi suatu theoria yang meliputi segala data pengamatan itu. Silogisme dapat dikatakan sebagai cara berpikir logis, yang dapat digambarkan dengan berbagai cara. Hegel menunjukkan bahwa apa yang ditunjukkan oleh silogisme adalah hubungan dari yang khusus ke yang umum. Dengan kata lain, silogisme itu sendiri adalah satu contoh dari kesatuan hal-hal yang bertentangan, kontradiksi dalam tingkatan paling sempurna, dan dalam kenyataannya, segala hal adalah "silogisme". DAFTAR PUSTAKA Ahmad, Supriadi. (tt). Pemikiran Aristoteles dan Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Filsafat Logika, Pengetahuan, dan Metafisika. [Online]. Tersedia: http://darunnajah.ac.id/?act=news&kategori=Artikel&id=19. [13 Desember 2011]. Hart, Michael H. (1983). Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah, Terjemahan Mahbub Djunaidi. Jakarta : Dunia Pustaka Jaya. NN. (2011). Biografi Aristoteles. [Online]. Tersedia: http://www.biografitokohdunia.com/2011/03/biografi-aristoteles.html. [15 Desember 2011]. Rapar, J.H. (1993). Filsafat Politik Aristoteles. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Wikipedia. (2011). Aristoteles. [Online]. Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Aristoteles. [15 Desember 2011].