Prima P Sumantri
4 my nation
Sabtu, 17 Desember 2011
TEORI DISONANSI KOGNITIF
Teori Disonansi Kognitif,
Leon Festinger
Perasaan yang tidak seimbang ini sebagai disonansi kognitif; hal ini merupakan perasaan yang dimiliki orang ketika mereka menemukan diri mereka sendiri melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang mereka ketahui, atau mempunyai pendapat yang tidak sesuai dengan pendapat lain yang mereka pegang”(1957,hal 4). Konsep ini membentuk inti dari teori disonansi kognitif, teori ini berpendapat bahwa disonansi adalah sebuah perasaan tidak nyaman yang memotivasi orang untuk mengambil langkah demi mengurangi ketidaknyaman itu.(figur 7.1) Roger brown (1965)katakan, dasar dari teori ini mengikuti sebuah prinsip yang cukup sederhana”Keadaan disonansi kognitif dikatakan sebagai keadaam ketidaknyaman psikologis atau ketegangan yang memotivasi usaha-usaha untuk mencapai konsonansi. Disonansi adalah sebutan ketidakseimbangan dan konsonansi adalah sebutan untuk keseimbangan. Brown menyatakan teori ini memungkinkan dua elemen untuk melihat tiga hubungan yang berbeda satu sama lain. Mungkin saja konsonan(consonant),disonansi(dissoanant), atau tidak relevan(irrelevan).
Hubungan konsonan(consonant relationship) ada antara dua elemen ketika dua elemen tersebut pada posisi seimbang satu sama lain. Jika anda yakin, misalnya, bahwa kesehatan dan kebugaran adalah tujuan yang penting dan anda berolahraga sebanyak tiga sampai lima kali dalam seminggu, maka keyakinan anda mengenai kesahatan dan perilaku anda sendiri akan memiliki hubungan yang konsonan antara satu sama lain. Hubungan disonansi(dissonant relationship) berarti bahwa elemen-elemennya tidak seimbang satu dengan lainnya. Contoh dari hubungan disonan antarelemen adalah seorang penganut katolik yang mendukung hak perempuan untuk memilih melakukan aborsi. Dalam kasus ini, keyakinan keagamaan orang itu berkonflik dengan keyakinan politiknya mengenai aborsi.
Hubungan tidak relevan (irrelevan relationship) ada ketika elemen-elemen tidakmengimplikasikan apa pun mengenai satu sama lain.
Pentingnya disonansi kognitif bagi peneliti komunikasi ditunjukkan dalam pernyataan Festinger bahwa ketidaknyaman yang disebabkan oleh disonansi akan mendorong terjadinya perubahan.
Asumsi:
Teori disonansi kognitif adalah menjelaskan mengenai keyakinan dan perilaku mengubah sikap. Teori ini berfokus pada efek inkonsistensi yang ada diantara kognisi-kognisi. 4 asumsi dasar dari teori ini:
1. Manusia memiliki hasrat akan adanya konsistensi pada keyakinan, sikap, dan perilakunya.
Penjelasan: menekankan sebuah model mengenai sifat dasar dari manusia yang mementingkan adalnya stabilitas dan konsistensi. Teori ini menyatakan bahwa orang tidak akan menikmati inkonsistensi dalam pikiran dan keyakinan mereka. Sebaliknya, mereka akan mencari konsistensi.
2. Disonansi diciptakan oleh inkonsistensi psikologis. Penjelasan: berbicara mengenai jenis konsistensi yang penting bagi orang. Teori ini tidak berpegang pada konsistensi logis yang kaku. Sevaliknya teori ini merujuk pada fakta bahwa kognisi-kognisi harus tidak konsisten secara psikologis(dibandingkan tidak konsisten secara logis)
3. Disonansi adalah perasaan tidak suka yang mendorong orang untuk melakukan tindakan-tindakan dengan dampak yang dapat diukur. Penjelasan: menyatakan bahwa ketika orang mengalami inkonsistensi psikologis disonansi tercipta menimbulkan perasan tidak suka. Jadi orang tidak senang berada dalam keadaan disonansi, hal itu merupakan suatu keadaan yang tidak nyaman
4. Disonansi mendorong usaha untuk memperoleh konsonansi dan usaha untuk mengurangi disonansi. Penjelasan: untuk menghindari situasi yang menciptakan inkonsistensi dan berusaha mencari situasi yang mengembalikan konsistensi. Jadi, gambaran akan sifat dasar manusia yang membingkai teori ini adalah sifat dimana manusia mencari konsistensi psikologis sebagai hasil dari rangsangan yang disebabkan oleh kondisi ketidaksenangan terhadap kognisi yang tidak konsisten
Konsep dan Proses Disonansi Kognitif
Ketika teoretikus disonansi berusaha untuk melakukan prediksi seberapa banyak ketidaknyaman atau disonansi yang dialami seseorang, mereka mengakui adanya konsep tingkat disonansi. Tingkat disonansi (magnitude of dissonance) merujuk kepada jumlah kuantitatif disonansi yang dialami oleh seseorang. Tingkat disonansi akan menentukan tindakan yang akan diambil seseorang dan kognisi yang mungkin ia gunakan untuk mengurangi disonansi. Teori CDT membedakan antara situasi yang menghasilkan lebih banyak disonansi dan situasi yang menghasilkan lebih sedikit disonansi.
Tingkat disonansi 3 faktor yang dapat mempengaruhi tingkat disonansi yang dirasakan seseorang (Zimbardo, ebbsen&Maslach, 1977) :
1. Kepentingan, atau seberapa signifikan suatu masalah, berpengaruh terhadap tingkat disonansi yang dirasakan. Menghubungkan fenomena yang terjadi di lingkungan selalu dihubungkan dengan kepentingannya sendiri. Melakukan disonansi sarat akan kepentingan.
2. Rasio disonansi atau jumlah kognisi disonan berbanding dengan jumlah kognisi yang konsonan. Terkena pada anak-anak abnormal. Mengalami penyimpangan rasio pada tingkat intelejensi rendah.
3. Rasionalitas yang digunakan individu untuk menjustifikasi inkonsistensi. Faktor ini merujuk pada alasan yang dikemukan untuk menjelaskan mengapa sebuah inkonsistensi muncul. Makin banyaka alasan yang dimiliki seseorang untuk mengatasi kesenjangan yang ada, maka semakin sedikit disonansi yang seseorang rasakan. Membenarkan perilaku dirinya sendiri walaupun itu salah.
Disonansi Kognitif dan Persepsi
Teori CDT berkaitan dengan proses pemilihan terpaan (selective exposure), pemilihan perhatian (selective attention), pemilihan interpretasi(selective interpretation), dan pemilihan retensi (selective retention) karena teori ini memprediksi bahwa orang akan menghindari informasi yang meningkatkan disonansi. Proses perseptua; ini merupakan dasar dari penghindaran ini.
1. Terpaan Selektif (Selective Exposure): Mencari informasi yang konsisten yang belum ada, membantu untuk mengurangi disonansi. CDT memprediksikan bahwa orang akan menghindari informasi yang meningkatkan disonansi dan mencari informasi yang konsisten dengan sikap dan prilaku mereka.
2. Pemilihan Perhatian (Selective Attention): Merujuk pada melihat informasi secara konsisten begitu konsisten itu ada. Orang memperhatikan informasi dalam lingkungannya yang sesuai dengan sikap dan keyakinannya sementara tidak menghiraukan informasi yang tidak konsisten.
3. Interpretasi Selektif(Selective Interpretation): Melibatkan penginterpretasikan informasi yang ambigu sehingga menjadi konsisten. Dengan menggunakan interpretasi selektif, kebanyakan orang menginterpretasikan sikap teman dekatnya sesuai dengan sikap mereka sendiri daripada yang sebenarnya terjadi(Bescheid&Walster,1978).
4. Retensi Selektif(Selective Retention): Merujuk pada mengingat dan mempelajari informasi yang konsisten dengan kemampuannya yang lebih besar dibandingkan yang kita akan lakukan terhadap informasi yang konsisten dengan kemampuan yang lebih besar dibandingkan yang kita lakukan terhadap informasi yang tidak konsisten.
http://publicrelationeasy.wordpress.com/2009/08/27/teori-disonansi-kognitif/
HISTORIOGRAFI AWAL KRISTEN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sejarah adalah perjuangan identitas, inilah makna dari sejarah yang tepat bagi para sejarawan Kristen di Kerajaan Romawi pada masa awal Kristen mulai bangkit. Ketika masyarakat beserta penguasa sebagian besar masih menganut paganisme dan umat Kristen pada saat itu merupakan minoritas, tetapi perjuangan para sejarawan Kristen saat itu yang telah menyusun naskah-naskah dan buku-buku layak diberi apresiasi. Lagipula apa yang dilakukan oleh para misionaris kuno tersebut tidak sia-sia, dengan penetapan agama Kristen sebagai agama negara pada masa Kaisar Konstatinus sebagai penguasa pada masa itu. (http://cak-faris.blogspot.com/2009/07/historiografi-kristen-pada-masa-awal.html).
Ketika berbicara mengenai Sejarah Kristen di masa awal, bukan hanya pertarungan identitas saja yang menjadi fokus penulisan, tetapi juga pengakuan akan kebenaran agama mereka. Hal ini tercakup pada naskah injil yang ditulis oleh para sahabat dan murid Yesus sendiri. Dalam naskah-naskah tersebut lebih bersifat kronik berisi pengalaman-pengalaman mereka bersama Yesus. Salah satunya adalah Injil Yudas, yang ditemukan sekitar tahun 1970-an. Injil Yudas ini berisi mengenai sifat-sifat pribadi Yudas dalam ketaatannya pada Yesus. Naskah kuno seperti inilah yang menjadi historiografi-historiografi kristen awal.
Sehingga dapat dikatakan bahwa tulisan-tulisan sejarah yang ditulis oleh beberapa murid dan sahabat Yesus merupakan sumber primer mengenai sejarah Kristen di masa awal. Tulisan-tulisan tersebut juga bersifat sebagai kitab suci yang digunakan sebagai alat dakwah bagi penyebaran agam Kristen di dunia. Injil-injil pada masa awal kelahiran kristen inilah yang menjadi pegangan pokok bagi para misionaris.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis mencoba menjelaskan mengenai Historiografi pada masa awal perkembangan agama Kristen serta penulisan yang menghasilkan karya pada masa tersebut dengan Judul
“Historiografi Awal Kristen”.
1.2. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana perkembangan penulisan sejarah pada masa awal Kristen
2. Siapa tokoh-tokoh penulis dan hasil karyanya pada masa awal Kristen
3. Bagaimana akhir penulisan pada masa awal Kristen
1.3. Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan makalah ini adalah menjelaskan substansi sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan perkembangan historiografi pada masa awal Kristen
2. Memaparkan penulis-penulis dan hasil karyanya pada awal Kristen
3. Mendeskripsikan akhir penulisan pada masa awal Kristen
1.4. Metode Pemecahan Masalah
Metode penulisan yang digunakan dalam menyelesaikan penyusunan makalah ini yaitu menggunakan metode studi literatur dengan mengumpulkan berbagai sumber (sumber buku dan internet) yang berkaitan dengan tema “Perkembangan Historiografi Pada Masa Awal Kristen” .
1.5. Sistematika Penulisan
Bab I : dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang penulisan, rumusan masalah, tujuan penulisan makalah, metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini, dan sistematika penulisan.
Bab II : dalam bab ini merupakan bab isi pembahasan masalah berisi mengenai perkembangan awal historiografi, penulis-penulis dan karyanya, dan akhir masa penulisan masa awal Kristen.
Bab III : dalam bab ini merupakan bab penutupan berisi kesimpulan dari pembahasan.
BAB II
HISTORIOGRAFI AWAL KRISTEN
2.1. Perkembangan Awal Historiografi Awal Kristen
Agama Kristen pada awal perkembangannya telah menyebabkan terjadinya perubahan besar terhadap penulisan sejarah. Namun seiring dengan perubahan itu, karya-karya para sejarawan Yunani dan Romawi pada umumnya diabaikan karena dianggap sebagai hasil dari pemikiran “orang-orang belum beragama” (pagan). Sikap pemikiran sempit itu tentu saja memusuhi setiap pencapaian dari kebudayaan “pagan” ini, tetapi penafsiran mereka dicondongkan sedemikian rupa untuk membuat agama Kristen bisa disukai.(Grawronski, 1969: 69-70).
Semangat anti-pagan dan perjuangan penyebaran agama Kristen mendasari dibuatnya karya-karya historiografis oleh tokoh-tokoh agama Kristen saat itu. Salah satunya yang cukup kelihatan dalam memperjuangkan agama Kristen dalam kancah politik perkotaan kota Roma adalah karya Agustinus yang berjudul De Civitate Dei (City of God). City of God dibuat oleh Agustinus sebagai jawaban atas serangan-serangan kaum pagan yang menyalahkan kekristenan sebagai penyebab keruntuhan Kerajaan Romawi, karena pada saat itu Kota Roma sedang dikuasai oleh kaum Visigoth yang mengakibatkan Kerajaan Romawi terkoyak-koyak akibat serangan Visigoth tersebut (Collins, Michael, 2006: 68-71). (http://cak-faris.blogspot.com/2009/07/historiografi-kristen-pada-masa-awal.html).
2.2. Penulis-penulis Awal Kristen
a. Eusebius Pamphilus (260 – 340)
Gambar 2.1. Eusebius Pamphilus
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Eusebius_dari_Kaisaria
Eusebius merupakan Uskup dari Caesaria (Kaisaria), sering disebut juga Eusebius Pamfili, "Eusebius sahabat Pamfilus dari Kaisaria", adalah seorang Uskup di Kaisaria, Palestina. Ia sering disebut sebagai seorang Bapak Sejarah Gereja karena karyanya dalam mencatat sejarah Gereja Kristen awal. (http://id.wikipedia.org/wiki/Eusebius_dari_Kaisaria).
Eusbius mulai menulis sebelum tahun 303 M. Karyanya ialah Chronicle merupakan dasar untuk memberikan latar belakang sejarah dan kronologis bagi buku yang disampaikan yaitu Ecclesiastical History (sejarah gereja) mengenai kehidupan dan karya dari para gerejawan terkemuka.
Gambar 2.2. Ecclesiastical History yang ditulis ulang
Sumber : http://commons.wikimedia.org/wiki/File:Ecclesiastical_History_of_Eusebius_Pamphilus,_1842 , http://www.kosovo.net/book2.gif , dan http://www.catholica.com.au/misc/bookimages/EcclesiasticalHistoryEusebius_210x310.jpg.
Chronicle dibagi atas dua bagian yaitu Chronographia dan Chronological Canons. Chronographia adalah rangkuman dari sistem penanggalan klasik (pagan), penanggalan Yahudi, dan singkatan dari sejarah umum dari berbagai negara yang berasal dari penulis-penulis sejarah sebelumnya (tentang Khaldes, Yahudi, Mesir,Yunani, dan Romawi). Chronological Canons merupakan hasilbuah pikiran dari Eusebius. Peristiwa-peristiwa dalam sejarah dibagi atas dua kategori yaitu sakral (Yahudi-Kristen) dan profan (pagan: Yunani dan Romawi) yang disinkronkan dalam dua kolom paralel. Peristiwa-peristiwa dalam sejarah sakral ditempatkan pada kolom kiri penanggalan, sedangkan peristiwa-peristiwa sejarah profan di kolom kanan.
Sebuah kronologis singkat injil dimulai sejak Penciptaan (Creation), tetapi kronologi perbandingan yang rinci baru dimulai dari penanggalan kelahiran Abraham (Ibrahim) (2016 SM). sejak saat itu, sejarah kronologis dibagi menjadi atas lima zaman yaitu
1. Abraham sampai perebutan kota Troya
2. Perebutan kota Troya sampai Olimpiade pertama
3. Olimpiade pertema sampai pemerintahan tahun kedua dari Darius
4. Pemerintahan kedua dari Darius dampai kematian Kristus
5. Kematian Kristus sampai tahun keduapuluh pemerintahan Kaisar Konstantin.
Eusebius menulis dalam bahasa Yunani sedangkan pada waktu itu hanya sedikit sarjana yang dapat menggunakan bahasa itu di Empirium Romawi Barat yang beragama Kristen. Oleh ebab itu karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh pendeta terpelajar, St. Jerome.(Barnes, 1963: 46-47).
b. St. Jerome (340 – 420)
Gambar 2.3. St. Jerome
Sumber : http://blog.theologika.net/2008/09/30/saint-of-the-day-st-jerome-september-30/.
St. Jerome lahir di Aquilea, Dalmati. Jerome dididik di Roma. Dia tertarik dalam belajar segala hal, tetapi terutama tertarik pada puisi klasik. Suatu malam dalam mimpi ia diperintahkan untuk mengabdikan dirinya kepada Injil. Setelah kebangkitan, Jerome memutuskan untuk mengabdikan hidupnya untuk mempelajari firman Tuhan.
Seperti banyak orang sezamannya, Jerome memutuskan untuk menjadi pertapa. Dia mundur ke padang gurun untuk menjalani kehidupan yang keras, meskipun ia tidak mengambil buku-bukunya dengan dia. Alih-alih Latin ia belajar bahasa Ibrani, dan ia mengabdikan dirinya untuk menulis. Dia tinggal di antara pertapa lain, yang berhasil masuk di bawah kulitnya. Setelah empat tahun, kecewa oleh pengalaman, dia keluar dari pertapaannya, mengatakan, "Lebih baik hidup di antara binatang buas daripada di antara orang-orang Kristen seperti itu!" (http://www.netplaces.com/saints/literary-saints/st-jerome-c-340420.htm).
Pada tahun 379, St. Jerome menerjemahkan Chronicle ke dalam bahasa Latin dari Eusebius dengan revisi dan tambahan tertentu. Chronograpia diterjemahkan tanpa perubahan-perubahan penting. Agar dapat digunkan di negara Barat, ia menambahkan fakta-fakta sejarah umum pada terjemahan Chronogical Canons, terutama berhubungan dengan sejarah dan sastra Romawi. Terjemahan Chronicle oleh Jerome ini menjadi dasar kronologi yang dipercayai di dunia Kristen Barat. (Barnes, 1963: 47).
Karya Jerome sendiri ialah De Viris Illustribus (Ilustrious Men, orang-orang terkenal) yang ditulis di Bethlehem tahun 392. Ini merupakan koleksi formal pertama tentang biografi dari orang-orang Kristen terkemuka. Tulisannya ini merupakan sanggahan terhadap penulis-penulis “pagan” yang menyindir orang-orang Kristen tidak mempunyai bakat sastra, buta huruf dan masa bodoh. Jerome menyangkal dengan menunjukkan sejumlah tokoh-tokoh Kristen terkemuka dan berbakat. Model koleksi biografi dari Jerome ini kelak dicontohkan oleh penulis-penulis kemudian sehingga merupakan salah satu bentuk historiografi yaitu biografi sejarah. (Barnes, 1963: 53).
Gambar 2.4. De Viris Illustribus
Sumber : http://www.flickr.com/photos/58558794@N07/5512291737/
c. St.Augustinus (354 – 430)
Gambar 2.5. St. Augustinus
Sumber : http://sangsabda.files.wordpress.com/2010/01/250px-saint_augustine_by_philippe_de_champaigne.jpg
St. Augustinus adalah penulis terbesar dari masa Kristen awal yang memberikan sumbangan penting bagi disiplin sejarah. St. Agustinus yang dilahirkan oleh pasangan Monika dengan Patrisius tanggal 13 November 354 di Afrika Utara, umur semenjak kecil sudah dididik agama oleh Monika yang saleh. Tetapi karena pengaruh lingkungan keluarganya yang masih kafir bibit iman itu tidak segera tumbuh seperti biji gandum tumbuh di semak berduri. Umur 18 tahun Agustinus mengambil langkah mencengangkan mata. Bukannya dia semakin dekat dengan Tuhan dan bertobat tetapi ia meninggalkan imannya dan memeluk ajaran Manikeisme yang sesat. Semakin menggelisahkan hati Monika, ibunya, di luar perkawinan yang sah, ia hidup dengan seorang wanita selama 12 tahun hingga melahirkan seorang anak, Deodatus.Permasalahan tersebut menimbulkan konflik dalam keluarga antaraAgustinus dengan Monika. Untuk menghindarkan konflik tersebut ia lari meninggalkan kampung halamannya untuk memperdalam ilmunya di Universitas Carthago dengan bantuan tetangganya yang kaya. (http://www.parokiparung.com).
Tahun 383 ia pergi ke Roma lalu ke Milano, tempat tinggal Uskup Ambrosius. Tahun 386 SM ia mendapat karier yang bagus di kantor gubernur provinsi, banyak teman, tetapi menjalani hidup penuh dosa. Tahun 387 berkat bimbingan St Ambrosius dan doa Monika ibunya, ia dibabtis tahun 387. (http://joshevand.wordpress.com/2010/01/27/santo-agustinus-354-430/).
St. Augustinus memiliki banyak keahlian dibeberapa disiplin ilmu diantaranya ahli teologi, filosof, pendeta, penyair, dan pemikir politik. Dalam karyanya yang terbesar berjudul De Civitate Dei ( The City Of God, Kota Tuhan) tidak seperti karya-karya para penulis “pagan” yang telah merasa puas dengan penafsiran siklus, ia menawarkn suatu tujuan (pandangan teologis) untuk sejarah. Tulisan ini merupakan sumbangan penting bagi filsafat sejarah. (Thompson, 1958: 136-137; Collins, Michael, 2006, 68-69).
Gambar 2.6 De Civitate Dei ( The City Of God, Kota Tuhan)
Sumber : http://smu.edu/bridwell_tools/specialcollections/schoeffer/06062.jpg dan http://smu.edu/bridwell_tools/specialcollections/schoeffer/06062detail.jpg
The City of God menggambarkan proses sejarah sebagai pernyataan dari pergulatan antara kekuatan Baik dan Jahat, antara “City of God” dari masyarakat yang percaya kepada Tuhan Hebrew dan Kristen, melawan “City of Satan” dari masyarakat pagan dan non-Kristen lain yang berakhir dengan kemenangan yang pertama (Barnes, 1963: 43).
Sejarawan-sejarawan Kristen telah merumuskan pertama kali filsafat sejarah yang sesungguhnya. Juga penulis-penulis Kristen awal mencoba menegakkan suatu warisan yang dapat bertahan lama untuk kepercayaan mereka dalam usaha untuk menarik orang-orang ke dalam agama mereka. Ini mereka dapat lakukan dengan menggunakan Perjanjian Lama sebagai sebuah dokuman sejarah. Tetapi untuk menunjukkan kelanjutan antara pikiran Hebrew dengan Kristen, mereka merasakan perlu untuk mengembangkan kronologi dari masa lalu. Jadi itu sebabnya Cronicle dari Jerome, sebuah terjemahan dan penguatan dari karya Eusebius, menjadi dasar bagi perhitungan kronologis dalam dunia Barat dan menjadi dasar dari suatu sistem yang berlangsung sampai masa modern.
2.3. Perkembangan Akhir Historiografi Awal Kristen
Dapat terlihat jelas bahwa historiografi pada masa itu merupakan persaingan antara kelompok Kristen dengan Pagan. Kaum Kristen menghendaki adanya pengakuan status mereka sebagai warga Roma dan berjuang untuk penyebaran agama Kristen, sementara kaum pagan menolak hadirnya agama baru tersebut dan selalu mengkambinghitamkan agama Kristen dalam proses kemunduran Kerajaan Romawi (Hardawiryana, 2003: 54).
Dari peristiwa-peristiwa yang berlangsung pada masa itu, terutama yang berkaitan dengan pertempuran antara paganisme dengan kristen, dapat terlihat bahwasanya Thedassius dalam mengeluarkan dekrit untuk membentuk agama Kristen sebagai agama negara, dan juga Konstantin I yang menjadi seorang raja Kristen pertama dan menetapkan sejumlah regulasi baru mengenai Kristen adalah hal yang mungkin dipaksakan untuk menciptakan kedamaian di negeri itu. Roma yang diambang perpecahan antara Kristen dan pagan tentunya membuat Konstantin harus berpikir keras mengenai solusi tepat bagi keduanya. Akibat inilah teori sejarawan modern mengenai penggabungan agama Kristen dan pagan yang dicetuskan pada Konsili Nicea muncul. Dengan jatuhnya peradaban Romawi di Barat tahun 476 M, aliran pertama terkemuka historiografi Eropa muncul. Zaman Abad Pertengahan mulai dan Eropa mulai berevolusi. (Gawronski, 1969: 69-71).
BAB III
KESIMPULAN
Sejarawan Kristen awal mencoba untuk merumuskan filsafat sejarah yang sesungguhnya dengan melakukan perbandingan dan bahkan anti “pagan”. Semangat anti-pagan dan perjuangan penyebaran agama Kristen mendasari dibuatnya karya-karya historiografis oleh tokoh-tokoh agama. Masyarakat pagan merupakan masyarakat yang dianggap oleh masyarakat Kristen sebagai aliran sesat atau pemuja setan.
Eusebius, St. Jerome, dan St. Augustinus merupakan penulis-penulis yang menghasilkan karya sebagai karakteristik historiografi pada masa tersebut, dimana agama sebagai orientasi penulisan sejarah. Kristen saat itu mempengaruhi dan menarik orang-orang ke dalam agama mereka dengan menggunakan Kitab Suci Perjanjian Lama sebagai dokumen sejarah. Jatuhnya peradaban Romawi di Barat tahun 476 M, aliran pertama terkemuka historiografi Eropa muncul. Zaman Abad Pertengahan mulai dan Eropa mulai berevolusi.
DAFTAR PUSTAKA
Barnes, Harry Elmer. (1963). A History of Historical Writing, New York: Dover Publications, Inc.
Collins, Michael. (2006). The Story of Christianity, Terjemahan, Yogyakarta: Kanisius.
Evander, George. (2010). Santo Agustinus (354-430). [Online]. Tersedia: http://joshevand.wordpress.com/2010/01/27/santo-agustinus-354-430/. [14 September 2011].
Faris. (2009). Historiografi Kristen Pada Masa Awal: Sebuah Perjuangan Identitas. [Online]. Tersedia: http://cak-faris.blogspot.com/2009/07/historiografi-kristen-pada-masa-awal.html. [13 September 2011].
Gawronski, Donald V. (1969). History: Meaning and Method. Glenview, Illnois: Scott, Foresman and Company.
Hardawiryana, R. (203). Dokumen Konsili Vatikan II. Terjemahan, Jakarta: Obor.
Sjamsuddin, Helius. (2011). Perkembangan Historiografi. Draft Bahan Kuliah Program Pendidikan Sejarah S2 Sekolah Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Tidak diterbitkan.
Stanford Encyclopedia of Philosophy. Saint Augustine. [Online]. Tersedia: http://plato.stanford.edu/entries/augustine/. [14 September 2011].
Tompson, James Westfall. (1958). A History of Historical Writting, 2 Jilid. New York: The Macmillan.
Wikipedia. (2010). Eusebius of Caesarea. [Online]. Tersedia: http://en.wikipedia.org/wiki/Eusebius_of_Caesarea. [14 September 2011].
SILOGISME ARISTOTELES
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Salah satu filosuf yang dianggap sangat berjasa dalam meletakkan sendi-sendi pertama rasionalitas Barat adalah Aristoteles, yang merupakan murid Plato. Meskipun diantara keduanya terdapat perbedaan-perbedaan pandangan, tetapi Aristoteles dianggap sebagai murid yang mewarisi pemikiran-pemikiran gurunya, dan dianggap sebagai salah satu tokoh penggerak zaman. (http://darunnajah.ac.id/?act=news&kategori=Artikel&id=19).
Aristoteles sependapat dengan gurunya Plato, yaitu tujuan terakhir daripada filosofi adalah pengetahuan tentang wujud/adanya dan yang umum. Dia juga mempunyai keyakinan tentang kebenaran yang sebenarnya hanya dapat dicapai dengan jelas pengertian, bagaimana memikirkan adanya itu? Menurut Aristoteles adanya itu tidak dapat diketahui dari materi benda belaka, tidak pula dari pemikiran yang bersifat umum semata. Seperti pendapat Plato tentang adanya itu terletak dalam barang satu-satunya, selama barang tersebut ditentukan oleh yang umum. Pandangannya juga yang realis dari pandanganan Plato yang selalu didasarkan pada yang abstrak. Ini semua disebabkan dari pendidikannya diwaktu kecil yang senantiasa mengharapkan adanya bukti dan kenyataan. Ia terlebih dahulu memandang yang konkrit, bermula dari mengumpulkan fakta-fakta yang ada kemudian disusun menurut ragam dan jenis atau sifatnya dalam suatu sistem setelah itu ia meninjaunya kembali dan disangkutpautkan satu sama lain.
Bila orang-orang shopis banyak yang menganggap manusia tidak akan mampu memperoleh kebenaran, Aristoteles dalam metaphysics menyatakan abahwa manusia dapat mencapai kebenaran. Tuhan itu menurut Aristoteles berhubungan dengan dirinya sendiri. Ia tidak berhubungan dengan (idak memperdulikan) alam ini. Ia bukan pesona, ia tidak memperhatikan doa dan keinginan manusia. Dalam mencintai tuhan kita tidak usah mengharapkan ia mencintai kita. Ia adalah kesempurnaan tertinggi dan kita mencontoh ke sana untuk perbuatan dan pikiran-pikiran kita.
Pandangan filsafatnya tentang etika adalah bahwa etika adalah sarana untuk mencapai kebahagiaan dan merupakan sebagai barang yang tertinggi dalam kehidupan. Etika dapat mendidik manusia supaya memiliki sikap ayang pantas dalam segala perbuatan. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa kebaikan terletak ditengah-tengah antara dua ujung yag paliang jauh. Contohnya pemberani adalah sifat baik yang terletak di antara pengecut dan nekad, dermawan terletak di antara kikir adan pemboros, renadah hati terletak diantara berjiwa budi dan sombong, dan lain sebagainya. Orang harus pandai mengusai diri agar tidak terombang-ambing oleh haw nafsu.
Namuna, dalam pemahamannya selain dalam permasalahan etik ia juga menyinggung masalah tentang nilai-nilai matematika, fisika, astronomi dan filsafat. Ia menyatakan bahwa putra-putri semu warga negara sebaiknya diajar sesuai dengan kemampuan mereka, sesuatu pandangan mereka yang sama dengan doktrin Plato tentang keberadaan individual, disiplin merupakan hal yang essensial untuk mengajarkan para apemuda daan kaum laki-laki muda untuk mematuhi perintah-perintah dan mengendalikan gerakan ahati mereka. Aristoteles seorang filusuf yang terbesar, memberikan definisi bahwa manusia itu adalah hewan yang berakal sehat yang mengeluarkan pendapatnya yang bebicara berdasarkan akal pikirannya. (http://dakir.wordpress.com/2009/04/18/filsafat-aristoteles/).
Aristoteles adalah orang pertama yang menulis satu sistematika atas logika formal dan logika dialektik, sebagai cara menyusun pikiran. Tujuan dari logika formal adalah untuk menyediakan kerangka kerja untuk membedakan argumen yang sahih dan yang tidak sahih. Hal ini dilakukannya dalam bentuk silogisme. Ada berbagai bentuk silogisme, yang sebenarnya merupakan varian dari tema yang sama.(http://dunia-filsafat.blogspot.com/2010/05/apa-itu-silogisme.html).
1.2. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Perjalanan Aristoteles?
2. Bagaimana pengetian dari Silogisme Aristoteles?
3. Bagaimana perkembangan Silogisme Aristoteles?
4. Bagaimana pengaruh pemikiran Aristoteles?
1.3. Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Perjalanan Aristoteles?
2. Bagaimana pengetian dari Silogisme Aristoteles?
3. Bagaimana perkembangan Silogisme Aristoteles?
4. Bagaimana pengaruh pemikiran Aristoteles?
1.4. Metode Pemecahan Masalah
Metode penulisan yang digunakan dalam menyelesaikan penyusunan makalah ini yaitu menggunakan metode studi literatur dengan mengumpulkan berbagai sumber (sumber buku dan internet) yang berkaitan dengan tema Silogisme Aristoteles.
1.5. Sistematika Penulisan
Bab I : dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang penulisan, rumusan masalah, tujuan penulisan makalah, metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini, dan sistematika penulisan.
Bab II : dalam bab ini merupakan bab isi pembahasan masalah berisi mengenai perjalanan Aristoteles, pengertian silogisme Aristoteles, perkembangan silogisme Aristoteles, dan pengaruh pemikiran Aristoteles.
Bab III : dalam bab ini merupakan bab penutupan berisi kesimpulan dari pembahasan.
BAB II
SILOGISME ARISTOTELES
1.1. Perjalanan Aristoteles
Aristoteles dikenal dunia sebagai salah satu filsuf terbesar sepanjang sejarah. Berbagai tulisannya menjadi dasar pengembangan ilmu filsafat, fisika, metafisika, politik, pemerintahan, dan pengetahuan alam. Dua filsuf lainnya yang dianggap paling berpengaruh dalam khasanah pemikiran di Eropa adalah Plato dan Socrates. Aristoteles juga murid yang menjadi salah satu tokoh berpengaruh di muka bumi yaitu Alexander agung.
Aristoteles lahir di Stagira Chalcidice, Thracia, Yunani tahun 384 SM. Ia keturunan seorang ahli pengobatan dari Makedonia. Aristolteles bergelut dengan pemikiran dan pengetahuan sejak usia 17 tahun. Ia berguru dengan Plato yang dikemudian menjadi pengajar di Akademi Plato selama kurang lebih 20 tahun. Ketika muridnya (Alexander Agung) berkuasa di Makedonia, Aristoteles kembali ke Yunani dan mendirikan akademi yang diberi nama Lyceum. Setelah kekuasaan Alexander melemah dan akhirnya jatuh, Aristoteles hidup di pelarian untuk menghindari pembunuhan seperti dialami Socrates. Ia akhirnya meninggal dalam pengungsian tahun 322 SM.(http://id.wikipedia.org/wiki/Aristoteles)
Filsafat Aristoteles tertulis dalam enam karya tulisnya yang membahas masalah logika, yang member sumbangan besar bagi perkembangan bidang Metafisika, Fisika, Etika, Politik, Ilmu Kedokteran, Ilmu Alam dan karya seni. Di bidang ilmu alam, ia orang pertama yang mengklasifikasikan spesies-spesies biologi secara sistematis. Aristoteles menjelaskan bahwa materi tidak mungkin tanpa bentuk karena ia ada (eksis). Pemikiran lainnya berkaitan dengan gerak. Ia menjelaskan semua benda bergerak menuju satu tujuan, Karena benda tidak dapat bergerak sendiri, maka harus ada penggerak dimana penggerak itu harus mempunyai penggerak lainnya hingga tiba pada penggerak pertama yang tak bergerak yang kemudian disebut dengan theos, yaitu yang dalam pengertian Bahasa Yunani sekarang dianggap berarti Tuhan.
Logika Aristoteles lebih bersifat deduktif, yang sampai saat ini masih dianggap sebagai dasar dari pengetahuan tentang logika formal.Namun dalam ia menyadari pula pentingnya observasi, eksperimen dan berpikir induktif. Sumbangan penting Aristoteles yang lain adalah silogisme yang digunakan untuk menarik kesimpulan dari dua kebenaran yang telah ada. Di bidang politik, Aristoteles percaya bahwa bentuk politik yang ideal adalah gabungan dari bentuk demokrasi dan monarki.
Pandangan Aristoteles tentang seni dituangkan dalam buku Poetike. Menurut Aristoteles keindahan menyangkut keseimbangan ukuran yakni ukuran material. Menurut Aristoteles sebuah karya seni adalah sebuah perwujudan artistik yang merupakan hasil chatarsis disertai dengan estetika. Chatarsis adalah pengungkapan kumpulan perasaan yang dicurahkan ke luar. Kumpulan perasaan itu disertai dorongan normative. Dorongan normatif yang dimaksud adalah dorongan yang akhirnya memberi wujud khusus pada perasaan tersebut. Aristoteles juga mendefinisikan pengertian sejarah yaitu satu sistem yang meneliti suatu kejadian sejak awal dan tersusun dalam bentuk kronologi. Sejarah adalah peristiwa-peristiwa masa lalu yang mempunyai catatan dan bukti-bukti yang konkrit. Aristoteles sangat menekankan empirisme untuk menekankan pengetahuan. Ia mengatakan bahwa pengetahuan dibangun atas dasar pengamatan dan penglihatan (http://www.biografitokohdunia.com/2011/03/biografi-aristoteles.html).
1.2. Pengertian Silogisme
Silogisme adalah cara berpikir logis, yang dapat digambarkan dengan berbagai cara. Definisi yang diberikan Aristoteles sendiri adalah sebagai berikut: "Satu diskursus di mana berbagai hal dinyatakan, hal-hal lain yang tidak dinyatakan harus mengikuti apa yang dinyatakan karena hal-hal itu dinyatakan demikan." Definisi yang paling sederhana diberikan oleh A. A. Luce: "Sebuah silogisme adalah satu triad [pasangan ganda tiga] dari proposisi yang yang saling berhubungan, terhubung sedemikian rupa sehingga salah satu dari ketiganya, yang disebut Kesimpulan, harus mengikuti kedua pernyataan yang lain, yang disebut Premis."( http://dunia-filsafat.blogspot.com/2010/05/apa-itu-silogisme.html).
Orang-orang Terpelajar dari abad pertengahan memusatkan perhatian mereka pada jenis logika formal yang dikembangkan Aristoteles dalam The Prior and Posterior Analytics. Dalam bentuk inilah logika Aristoteles diwariskan sampai Abad Pertengahan. Dalam prakteknya, silogisme ini mengandung dua premis dan satu kesimpulan. Subjek maupun predikat dari kesimpulan masing-masing muncul dalam salah satu dari kedua premis, bersama dengan bagian ketiga (termin tengah) yang ditemukan dalam kedua premis, tapi tidak di dalam kesimpulan. Predikat dari kesimpulan adalah termin mayor; premis di mana ia terkandung disebut premis mayor; subjek dari kesimpulan adalah termin minor; dan premis di mana ia terkandung disebut premis minor. Contohnya,
a) Semua manusia adalah fana. (Premis mayor)
b) Caesar adalah seorang manusia. (Premis minor)
c) Dengan demikian, Caesar adalah fana. (Kesimpulan)
Ini disebut satu pernyataan kategorikal afirmatif. Pernyataan ini memberi kesan sebagai sebuah rantai logis dari sebuah argumen, di mana tiap tahap niscaya diturunkan sebagai hasil dari tahap sebelumnya. Tapi, sebenarnya, bukan itu yang terjadi, karena "Caesar" sebenarnya telah termasuk dalam himpunan "semua manusia". Kant, seperti Hegel, menganggap rendah silogisme ("doktrin yang bertele-tele," ujar Kant). Baginya, silogisme "tidaklah lebih dari sekedar satu tipuan" di mana kesimpulan sebenarnya telah disisipkan tersembunyi dalam premis sehingga kesan berpikir yang ditimbulkannya adalah palsu.(http://dunia-filsafat.blogspot.com/2010/05/apa-itu-silogisme.html).
Jenis lain silogisme berbentuk kondisional (jika ... maka ...), contohnya: "Jika seekor hewan adalah seekor harimau, maka ia adalah pemakan daging." Ini adalah cara lain untuk menyatakan hal yang sama dengan pernyataan kategorikal afirmatif, yaitu, semua harimau adalah pemakan daging. Hubungan yang sama terjadi pada bentuk negatifnya - "Jika ia adalah seekor ikan, maka ia bukanlah hewan menyusui" adalah cara lain untuk menyatakan "Tidak ada ikan yang menyusui". Perbedaan formal ini menyembunyikan fakta bahwa kita belum maju selangkahpun dalam pemikiran kita. Apa yang sebenarnya baru saja ditunjukkan adalah hubungan internal antara berbagai hal, bukan hanya dalam pikiran tapi juga dalam dunia nyata. "A" dan "B" terhubung dengan satu cara tertentu terhadap "C" (bagian tengah) dan premis-premis, dengan demikian, mereka terhubung satu sama lain di dalam kesimpulan. Dengan pemahaman dan kedalaman yang dahsyat, Hegel menunjukkan bahwa apa yang ditunjukkan oleh silogisme adalah hubungan dari yang khusus ke yang umum. Dengan kata lain, silogisme itu sendiri adalah satu contoh dari kesatuan hal-hal yang bertentangan, kontradiksi dalam tingkatan paling sempurna, dan dalam kenyataannya, segala hal adalah "silogisme".
Masa keemasan silogisme terjadi dalam Abad Pertengahan, ketika Orang-orang Terpelajar mengabdikan seluruh hidup mereka dalam perdebatan tanpa ujung tentang segala persoalan teologis yang kabur, seperti "apa jenis kelamin malaikat?" Konstruksi logika formal yang berbelit-belit itu membuat mereka nampak sedang terlibat dalam satu diskusi yang mendasar padahal, kenyataannya, mereka tidak sedang berdebat sama sekali. Alasannya terletak persis pada sifat logika formal itu sendiri. Seperti yang dinyatakan oleh namanya, logika ini hanya mengurusi segala yang memiliki bentuk. Masalah tentang hakikat atau isi tidak termasuk di dalamnya. Persis inilah cacat utama dari logika formal, dan sekaligus adalah urat Achilles-nya.
1.3. Perkembangan Silogisme Aristoteles
Masa keemasan silogisme terjadi dalam Abad Pertengahan, ketika Orang-orang Terpelajar mengabdikan seluruh hidup mereka dalam perdebatan tanpa ujung tentang segala persoalan teologis yang kabur, seperti "apa jenis kelamin malaikat?" Konstruksi logika formal yang berbelit-belit itu membuat mereka nampak sedang terlibat dalam satu diskusi yang mendasar padahal, kenyataannya, mereka tidak sedang berdebat sama sekali. Alasannya terletak persis pada sifat logika formal itu sendiri. Seperti yang dinyatakan oleh namanya, logika ini hanya mengurusi segala yang memiliki bentuk [form]. Masalah tentang hakikat atau isi tidak termasuk di dalamnya. Persis inilah cacat utama dari logika formal, dan sekaligus adalah urat Achilles-nya.
Pada masa Jaman Pencerahan, pembangkitan kembali semangat kemanusiaan, ketidakpuasan terhadap logika Aristotelian meluas dengan cepat. Terjadilah satu peningkatan reaksi melawan Aristoteles, yang sesungguhnya tidak adil terhadap pemikir besar ini, tapi sesungguhnya berakar dari fakta bahwa Gereja telah menindas segala yang berharga dalam filsafatnya, dan memelihara karikatur yang tak bernyawa dari filsafat yang sangat tinggi nilainya itu. Bagi Aristoteles, silogisme hanyalah satu proses dalam tata berpikir, dan tidak harus juga menjadi bagian yang terpenting darinya. Aristoteles juga menulis tentang dialektika, dan tapi aspek ini dilupakan. Logika dilucuti dari segala kehidupan yang dimilikinya dan diubah, mengutip Hegel, menjadi "tulang-tulang tak bernyawa."
Penolakan terhadap formalisme tak bernyawa ini tercermin dalam gerakan terhadap empirisisme, yang membuahi janin penyelidikan dan percobaan ilmiah. Walau demikian, mustahillah untuk sama sekali mengabaikan sama sekali satu bentuk pemikiran, dan empirisisme telah sejak kelahirannya membawa benih-benih kehancurannya sendiri. Satu-satunya alternatif yang berharga untuk metode berpikir yang penuh kekurangan dan tidak tepat ini adalah dengan mengembangkan metode yang tepat dan tanpa kekurangan.
Di akhir Abad Pertengahan, silogisme telah sama sekali dipermalukan di mana-mana, dan dihinakan dan dilecehkan. Rabelais, Petrach dan Montaigne, semua menyangkal kebenaran silogisme. Tapi silogisme masih terus bertahan, terutama di negeri-negeri Katolik, yang tidak tersentuh oleh badai yang ditiupkan oleh Reformasi Protestan. Di akhir abad ke-18, logika berada dalam keadaan yang demikian buruk sehingga Kant merasa berkewajiban untuk meluncurkan satu kritik umum terhadap bentuk-bentuk cara berpikir lama dalam bukunya “Critique of Pure Reason”.
Hegel adalah orang pertama yang menempatkan hukum-hukum logika formal ke dalam analisis yang sepenuhnya kritis. Di dalam analisis ini ia menyempurnakan kerja yang telah dimulai oleh Kant. Tapi di mana Kant hanya menunjukkan kekurangan-kekurangan dan kontradiksi yang terkandung di dalam logika tradisional, Hegel maju lebih jauh, menguraikan satu pendekatan yang sama sekali berbeda terhadap logika, satu pendekatan dinamis yang akan memasukkan pergerakan dan kontradiksi ke dalam logika, dua hal yang tidak sanggup ditangani oleh logika formal. (http://dunia-filsafat.blogspot.com/2010/05/apa-itu-silogisme.html).
1.4. Pengaruh Pemikiran Aristoteles
Pengaruh Aristoteles terhadap cara berpikir Barat di belakang hari sungguh mendalam. Di zaman dulu dan zaman pertengahan, hasil karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Latin, Arab, Itali, Perancis, Ibrani, Jerman dan Inggris. Penulis-penulis Yunani yang muncul kemudian, begitu pula filosof-filosof Byzantium mempelajari karyanya dan menaruh kekaguman yang sangat. Perlu juga dicatat, buah pikirannya banyak membawa pengaruh pada filosof Islam dan berabad-abad lamanya tulisan-tulisannya mendominir cara berpikir Barat. Ibnu Rusyd (Averroes), mungkin filosof Arab yang paling terkemuka, mencoba merumuskan suatu perpaduan antara Teologi Islam dengan rasionalisme Aristoteles. Maimomides, pemikir paling terkemuka Yahudi abad tengah berhasil mencapai sintesa dengan Yudaisme. Tetapi, hasil kerja paling gemilang dari perbuatan macam itu adalah Summa Theologia-nya cendikiawan Nasrani St. Thomas Aquinas. Di luar daftar ini masih sangat banyak kaum cerdik pandai abad tengah yang terpengaruh demikian dalamnya oleh pikiran Aristoteles.
(file:///D:/Education%20File/All%20About%20History/seratus%20tokoh%20paling%20berpengaruh%20dalam%20sejarah.htm).
Kekaguman orang kepada Aristoteles menjadi begitu melonjak di akhir abad tengah tatkala keadaan sudah mengarah pada penyembahan berhala.Dalam keadaan itu tulisan-tulisan Aristoteles lebih merupakan semacam bungkus intelek yang jitu tempat mempertanyakan problem lebih lanjut daripada semacam lampu penerang jalan. Aristoteles yang gemar meneliti dan memikirkan ihwal dirinya tak salah lagi kurang sepakat dengan sanjungan membabi buta dari generasi berikutnya terhadap tulisan-tulisannya. Beberapa ide Aristoteles kelihatan reaksioner diukur dengan kacamata sekarang. Misalnya, dia mendukung perbudakan karena dianggapnya sejalan dengan garis hukum alam. Dia percaya kerendahan martabat wanita ketimbang laki-laki. Kedua ide ini tentu saja mencerminkan pandangan yang berlaku pada zaman itu. Tetapi, tak kurang pula banyaknya buah pikiran Aristoteles yang mencengangkan modernnya, misalnya kalimatnya, “Kemiskinan adalah bapaknya revolusi dan kejahatan,” dan kalimat “Barangsiapa yang sudah merenungi dalam-dalam seni memerintah manusia pasti yakin bahwa nasib sesuatu emperium tergantung pada pendidikan anak-anak mudanya.” (Tentu saja, waktu itu belum ada sekolah seperti yang kita kenal sekarang).
Di abad-abad belakangan, pengaruh dan reputasi Aristoteles telah merosot bukan alang kepalang. Namun, ada yang berpikir bahwa pengaruhnya sudah begitu menyerap dan berlangsung begitu lama sehingga saya menyesal tidak bisa menempatkannya lebih tinggi dari tingkat urutan seperti sekarang ini. Tingka turutannya sekarang ini terutama akibat amat pentingnya ketiga belas orang yang mendahuluinya dalam urutan.
(http://darunnajah.ac.id/?act=news&kategori=Artikel&id=19).
KESIMPULAN
Aristoteles mempunyai dasar-dasar ajaran tentang filsafat yang kemudian banyak berkembang di Barat. Meskipun demikian, ada juga cendekiawan muslim yang terpengaruh oleh pemikiran filsafatnya. Dalam filsafatnya, Aristoteles bertitik tolak dari apa yang dia amati dalam hidup manusia dan hidup masyarakat. Dari praksis nyata dan data-data, dia kemudian menyimpulkan menjadi suatu theoria yang meliputi segala data pengamatan itu.
Silogisme dapat dikatakan sebagai cara berpikir logis, yang dapat digambarkan dengan berbagai cara. Hegel menunjukkan bahwa apa yang ditunjukkan oleh silogisme adalah hubungan dari yang khusus ke yang umum. Dengan kata lain, silogisme itu sendiri adalah satu contoh dari kesatuan hal-hal yang bertentangan, kontradiksi dalam tingkatan paling sempurna, dan dalam kenyataannya, segala hal adalah "silogisme".
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Supriadi. (tt). Pemikiran Aristoteles dan Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Filsafat Logika, Pengetahuan, dan Metafisika. [Online]. Tersedia: http://darunnajah.ac.id/?act=news&kategori=Artikel&id=19. [13 Desember 2011].
Hart, Michael H. (1983). Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah, Terjemahan Mahbub Djunaidi. Jakarta : Dunia Pustaka Jaya.
NN. (2011). Biografi Aristoteles. [Online]. Tersedia: http://www.biografitokohdunia.com/2011/03/biografi-aristoteles.html. [15 Desember 2011].
Rapar, J.H. (1993). Filsafat Politik Aristoteles. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Wikipedia. (2011). Aristoteles. [Online]. Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Aristoteles. [15 Desember 2011].
Kamis, 27 Oktober 2011
Pengajaran Remedial
PENGERTIAN PENGAJARAN REMEDIAL
A. Pengajaran Remedial
Dalam proses belajar-mengajar di sekolah, pengajaran remedial memang peranan yang penting sekali terutama dalam rangka mencapai hasil belajar yang lebih memadai. Pengajaran remedial merupakan pelengkap proses pengajaran secara keseluruhan. Beberapa alasan perlunya pengajaran remedial dapat dilihat dari beberapa segi:
1) Dari segi murid, kenyataan menunjukan bahwa masih banyak murid yang belum dapat mencapai prestasi belajar yang diharapkan. Hal ini dapat dilihat dengan masih banyaknya murid yang mendapat nilai prestasi belajar yang masih dianggap kurang, misalnya rata-rata yang dicapai masih jauh dibawah ukuran yang diharapkan .
2) Dari pihak guru, pada dasarnya guru bertanggung jawab atas keseluruhan proses pendidikan di sekolah. Ini berarti bahwa guru bertanggung jawab akan tercapainya tujuan pendidikan melalui pencapaian tujuan instruksional dan tujuan kurikuler.
Dalam pelaksanaan tugasnya, guru tidak hanya berperan sebagai penyampai pengetahuan kepada murid-muridnya, akan tetapi ia mempunyai peranan juga sebagai pembingbing.
3) Dilihat dari segi pengertian proses belajar, pengajaran remedial diperlukan untuk melaksanakan proses belajar yang sebenarnya. Sebagai mana kita ketahui, proses belajar sesungguhnya ditandai dengan perubahan tingkah laku secara keseluruhan.
4) Pelaksanaan pelayanan bingbingan dan penyuluhan di sekolah pada dasarnya merupakan salah satu unsur dalam keseluruhan proses pendidikan. Melalui pelayanan bingbingan dan penyuluhan, setiap murid akan mendapat pelayanan pribadi sehingga mereka dapat memahami diri dan mampu mengarahkan dirinya dalam mencapai perkembangan yang optimal.
B. Arti Pengajaran Remedial
Dilihat dari arti katanya, remedial berarti bersifat menyembuhkan atau membetulkan, atau membuat menjadi baik. Dengan demikian pengajaran remedial adalah suatu bentuk pengajaran yang bersifat menyembuhkan atau membetulkan, atau pengajaran yang membuat menjadi baik jadi dalam pengajaran remedial yang disembuhkan, yang diperbaiki, atu yang dibetulkan adalah keseluruhan proses belajar-mengajar yang meliputi cara belajar, metode mengajar, materi pelajaran, alat belajar dan lingkungan yang turut serta mempengaruhi proses belajar mengajar. Dengan pengajaran remedial, murid yang mengalami kesulitan belajar dapat dibetulkan atau disembuhkan atau diperbaiki sehingga dapat mencapai hasil yang diharapkan sesuai dengan kemampuannya.
Perbandingan pengajaran remedial dengan pengajaran biasa atau regular:
1) Pengajaran regular merupakan kegiatan pengajaran biasa sebagai program belajar mengajar di kelas dengan semua murid turut serta berparti sipasi.
2) Dari segi tujuannya pembelajaran regular dilaksanakan untuk mencapai tujuan instruksional yang telah ditetapkan sesuai dengan kurikulum yang berlaku dan bersifat sama untuk semua murid.
3) Metode yang digunakan dalam pengajaran regular bersifat sama untuk semua murid, sedang dalam pengajaran remedial bersifat diferensi, artinya disesuaikan dengan sifat, jenis, dan latar belakang kesulitan belajarnya.
4) Pengajaran regular dilaksanakan oleh guru kelas atau guru bidang studi
5) Alat-alat yang dipergunakan dalam pengajaran remedial lebih berfariasi dibandingkan dengan pengajaran regular
6) Pengajaran remedial menuntut pendekatan dan teknik yang lebih diferensial artinya lebih disesuaikan dengan keadaan masing-masing pribadi murid yang akan dibantu.
7) Dalam hasil evaluasi, pengajaran regular lebih banyak menggunakan alat evaluasi yang bersifat seragam dan kelompok, sedangkan dalam pengajaran remedial, alat evaluasi yang digunakan disesuaikan dengan kesulitan belajar yang dihadapi murid.
C. Tujuan Pengajaran Remedial
Secara umum tujuan pengajaran remedial tidaklah berbeda dengan tujuan pada umumnya. Adapun tujuan pengajaran remedial adalah agar murid-murid yang mengalami kesulitan belajar dapat mencapa prestasi belajar yang diharapkan melalui penyembuhan atau perbaikan dalam proses belajarnya.
Secara terperinci tujuan pengajaran remedial ialah agar murid-murid :
1) Memahami dirinya, khususnya menyangkut prestasi belajar
2) Dapat mengubah cara-cara belajar kearah yang lebih baik sesuai dengan kesulitan yang dihadapi
3) Dapat memilih materi dan fasilitas belajar untuk mengatasi kesulitan belajarnya.
4) Dapat mengatasi hambatan-hambatan belajar yang menjadi latar belakangnya
5) Dapat mengembangkan sikap-sikap dan kebiasaan yang baru yang dapat mendorong tercapainya hasil belajar yang lebih baik
6) Dapat melaksanakan tugas-tugas belajar yang diberikan.
D. Fungsi Pengajaran Remedial
Berberapa fungsi remedial:
1) Fungsi Korektif
Fungsi Korektif artinya bahwa melalui pengajaran remedial dapat diadakan pembetulan atau perbaikan terhadap sesuatu yang dipandang masih belum mencapai apa yang diharapkan dalam keseluruhan proses belajar mengajar
2) Fungsi pemahaman
Yang dimaksud dengan fungsi ini adalah bahwa pengajaran remedial memungkinkan guru, murid dan pihak-pihak lain yang dapat memperoleh pemahaman yang lebih baik terhadap murid
3) Fungsi Penyesuaian
Pengajaran remedial dapat membantu murid untuk lebih dapat menyesuaikan dirinya terhadap tuntutan kerja belajar
4) Fungsi Pengayaan
Yang dimaksud dengan fungsi pengayaan adalah bahwa pengajaran remedial dapat memperkaya proses belajar mengajar.
5) Fungsi Akselerasi
Yang dimaksud dengan fungsi ini adalah bahwa pengajaran remedial dapat membantu mempercepat proses belajar baik baik dalam arti waktu maupun materi.
6) Funsi Terapeutik
Secara langsung atupun tidak langsung, pengajaran remedial dapat menyembuhkan atau memperbaiki kondisi-kondisi kepribadian murid yang diperkirakan menunjukan ada penyimpangan
KESIMPULAN
Pengajaran remedial dapat diartikan sebagai suatu bentuk khusus pengajaran yang diberikan kepada seorang atau sekelompok murud yang diperkirakan mengalami kesulitan belajar melalui suatu pendekatan dan teknik tertentu dengan maksud untuk membetulkan, memperbaiki atau menyembuhkan sebagian atu seluruh kekurangan proses belajar mengajar sihingga murid dapat mencapai hasil belajar yang optimal sesuai dengan kemampuannya.
Adapun tujuan pengajaran remedial adalah agar murid yang mengalami kesulitan belajar dapat memper oleh prestasi belajar yang memadai melalui proses penyembuhan , atau perbaikan seperti pemahaman diri, cara-cara belajar, menggunakan alat belajar, perubahan sikap, mengatasi hambatan pribadi dan pelaksanaan tugas-gurus.
Selaku pengajar guru juga perlu memahami pengajaran remedial, karena guru mempunyai peranan dan tanggung jawab yang besar dalam proses perkembangan murid. Disamping sebagai pengajar, guru juga berperan sebagai pembingbing.
Dari sini kita bias menarik sebuah kesimpulan bahwa pembelajaran remedial ditunjukan untuk memperbaiki hasil belajar siswa yang kuarang baik, agar menjadi lebih baik. Selain itu juga pengajaran remedial sebenarnya sangat dibutuhkan baik bagi siswa itu sendiri maupun guru selaku pengajar
Makalah: Sistem Budaya Masyarakat Kecamatan Sukahaji, Kabupaten Majalengka
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Kabudayaan dapat dikatakan bersifat adaptif, karena kebudayaan itu sendiri melengkapi manusia dengan cara penyesuaian diri pada kebutuhan-kebutuhan fisiologis dan penyesuain diri dengan lingkungan, baik yang bersifat fisik geografis maupun lingkungan sosial tempat hidupnya. Kegiatan tersebut mengisyaratkan bahwa kebudayaan selalu berkembang sesuai dengan kebutuhan tertentu pada lingkungan masyarakat tertentu berdasar kebutuhannya. Dengan kata lain hubungan antara manusia dengan lingkungan dijembatani oleh kebudayaan yang dimilikinya. Di samping itu, kebudayaan merupakan hasil sarana untuk menyesuaikan diri pada lingkungan sosial, misalnya perubahan-perubahan ekonomi dan kesempatan dalam bidang sosial yang secara tidak langsung ataupun langsung merangsang munculnya tata kelakuan baru yang pada akhirnya pola-pola tersebut menjadi milik bersama dan terwujud dalam proses adaptasi dengan lingkungan masyarakat sekitarnya.
Sukahaji terletak di wilayah Kabupaten Majalengka Propinsi Jawa Barat. Seperti daerah lainnya masyarakat Sukahaji mayoritas merupakan penduduk asli di sana dan mempunyai budaya yang dimiliki oleh mereka. Adanya perubahan-perubahan yang yang terjadi dapat dipengaruhi oleh aspek kehidupan masyarakatnya sendiri. Selain itu, cukup menarik jika kita mengkaji bagaimana kenyataan hubunga antara masyarakat dengan budaya yang saling beriringan.
Berdasarkan dasarkan permasalah di atas, kami mencoba menjelaskan bagaimana kehidupan budaya masyarakat Sukahaji. Adapun Judul yang akan diambil “Sistem Budaya Masyarakat Kecamatan Sukahaji, Kabupaten Majalengka”
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah dalam penulisan makalah ini sebagai berikut:
1. Bagaimana latar belakang masyarakat Sukahaji?
2. Bagaimana tujuh unsur kebudayaan yang terdapat di Sukahaji?
1.3. Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan sebagai berikut:
1. Menjelaskan bagaimana latar belakang masyarakat Sukahaji.
2. Menjelaskan tujuah unsur kebudayaan yang terdapat di Sukahaji.
1.4. Teknik Penulisan
Teknik yang digunakan dalam penulisan makalah ini yaitu menggunakan studi literatur yakni mengkaji beberapa buku yang relevan dengan masalah yang sedang di kaji.
1.5. Sistematika Penulisan
Bab I Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
1.2. Perumusan Masalah
1.3. Tujuan Penulisan
1.4. Teknik Penulisan
1.5. Sistematika Penulisan
Bab II Kebudayaan Masyarakat Sukahaji
2.1. Latar Belakang
2.2. Tujuh Unsur Kebudayaan Masyarakat Sukahaji
Kesimpulan
BAB II
KEBUDAYAAN MASYARAKAT
KECAMATAN SUKAHAJI
2.1. Latar Belakang
Terkadang berawal dari sebuah legenda kemudian dalam perkembangannya dianggap sebagai sejarah, misal Desa Sukahaji, Kecamatan Sukahaji, Kabupaten Majalengka. Yaitu desa yang diperkirakan berasal dari suatu wilayah pemerintahan setingkat kademangan yang berdiri pada masa transisi dari Hindu ke Islam antara tahun 1072 - 1572 yang disebut Negara Tanjung Melayu, beribukota di Sukahaji Girang.
Sebelum masa transisi Hindu-Islam, negara ini pernah pula mengalami masa transisi (Hindu-Budha), dengan tampuk pemerintahan (raja/pangeran), yaitu (1) Pangeran Sutawijaya di Koncangan; (2) Pangeran Mangkubumi di Batu Tumpeng; (3) Dedegjaya di Tatajuran; dan (4) Pangeran Reregjaya di Tajuran; serta (5) Pangeran Heulang Barang di Calados. Menurut cerita orang di Desa Sukahaji, telah ditemukan beberapa bukti sejarah berupa Batu Bale (balai desa), dan Batu Tumpeng (tempat pemujaan). Keduanya sebagai bagaian dari peninggalan sejarah penduduk yang saat itu sedang mengalami transisi perkembangan Hindu-Budha.
Sumber lain menceritakan, bahwa di tempat tersebut pada masa embah (pangeran) Sukawetan sebagai raja Hindu-Budha terakhir Negara Tanjung Melayu, telah datang ajaran Islam yang dibawa oleh Syekh Haji Abdullah keturunan dari Mekah yang diutus oleh Syekh Sayrif Hidayatullah (1552-1570) untuk menyebarkan ajaran Islam. Tetapi cerita tersebut sebenarnya perlu pengkajian mendalam, sebab terdapat alur berbeda-beda. Di antaranya ada pula yang memeperkirakan Haji Abdullah sebagai utusan dari mataram yang berada dalam pemerintahan Sultan Agung untuk menyerang Batavia yang dikuasai oleh VOC (1620-1629). Sebagai bukti bahwa ia dari kalangan Mataram, yaitu dengan diketemukannya pohon bambu kuning di Palabua.
Kehadiran Syekh yang berupaya menyebarkan ajaran Islam, ternyata mendapat perlawanan dari pangeran Sindang Entang (Sukawetan). Bukti pernah terjadi pertempuran, yaitu dengan adanya Sedekan di pinggir Sungan Cikeuruh, Mojok di sudut Desa Cikeusik, makam Cagedang bekas Masuk Bumi, dan Munjul (Desa Munjul sekarang), sehingga Pangeran Sindang Entang tidak kuat dan menyerah, yang akhirnya menyukai Syekh Haji Abdullah, bahkan Syekh dijadikan sebagai menantu Pangeran. Dari perasaan suka itulah Tanjung Melayu dinamakan Sukahaji. Tetapi, Pangeran merasa keberatan apabila ia diislamkan oleh Syekh , kecuali oleh Raja Cirebon, ia tidak ke Sukahaji tetapi ke Sukaraja sekarang, dan karena itulah tempat tersebut dikenal dengan nama Desa Sukaraja.
Ada beberapa makam yang dianggap sebagai leluhur Desa Sukahaji, yaitu Makam Embah Sukawetan di Cageudang dekat Gunung Embe di pinggir Sungai Cikeuruh, Makam Embah Haji Abdullah di tengah sawah jalan Tarikolot, Makam Embah Raksawadana di Krapyak Tarikolot, dan Makam Embah Pasirlangu, serta makam Embah Lebe Dalem di Lebe Dalem bawah Pasirlangu.
Setelah Haji Abdullah wafat, berturut-turut yang memerintah di Sukahaji bergelar kuwu atau kepala desa. Tetapi untuk menentukan kapan hari jadi Sukahaji belum dapat jawaban, apalagi baru bersumber dari suatu cerita rakyat (legenda). Ada beberapa pesan dari leluhur Sukahaji; (1) jangan merusak hutan rimba apabila ingin makmur; (2) jadilah orang yang takut kepada Allah SWT; dan (3) kudu cageur, bageur bener, pinter, sing angger madep ka gusti nu Maha Suci; serta Negara Tanjung Melayu sing panjang punjung Sukahaji sugih mukti.
2.2. Tujuh Unsur Kebudayaan Masyarakat Sukahaji
2.2.1. Sistem Organisasi
Ibukota Kecamatan Sukahaji adalah Desa Sukahaji yang terletak pada jarak 6 Km dari ibukota kabupaten. Luas daerah Kecamatan Sukahaji 56,49 Km2 atau sekitar 4,69% dari luas Kabupaten Majalengka.. Secara geografis, Kecamatan Sukahaji terletak pada ketinggian 125 m di atas permukaan laut, 108°12’ - 108°15’ Bujur Timur dan 6°48’ - 6°56’ Lintang Selatan dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:
• Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Palasah dan Kecamatan Jatiwangi
• Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Maja dan Kecamatan Argapura.
• Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Cigasong.
• Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Rajagaluh.
Kecamatan Sukahaji dipimpin oleh seorang camat yang merupakan utusan dari Kabupaten. Atomi. S.Sos, yang sekarang menjadi camat disana merupakan camat yang ditugaskan oleh Kabupaten yang dikelapali oleh Seorang Bupati. Kecamatan Sukahaji terdiri dari 20 Kelurahan/Desa diantaranya :
1. Babakan Manjeti
2. Bayureja
3. Candrajaya
4. Cikalong
5. Cikeusik
6. Cikoneng
7. Ciomas
8. Garawastu
9. Gunung Kuning
10. Indrakila
11. Jayi
12. Nanggewer
13. Padahanten
14. Palabuan
15. Pasirayu
16. Salagedang
17. Sangkanhurip
18. Sindang
19. Sukahaji
20. Tanjungsari
Kelurahan/Desa dikepalai oleh Kepala Desa yang dipilih langsung oleh masyarakat setempat berdasarkan pemilihan yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Kepala Desa mengepalai Rurah yang merupakan kepala blok atau RW (Rukun Warga) dan mengepalai para Ketu RT.
Struktur Organisasi Kecamatan Sukahaji
Selain itu, ada beberapa organisasi masyarakat yang kegiatannya berada di tingkkat Kelurahan/Desa atau Blok yang masih terdapat pengawasan dari Kepala Kelurahan/Desa atau Blok yaitu, Karang Taruna, DKM, PKK dan lain lain. Karang Taruna mempunyai peranan yang sangat penting dalam menjalankan struktur pemerintahan di Keluarah/Desa.
Adapun peranan Karang Taruna di Keluarah/Desa diantaranya:
1. Wadah aspirasi bagi masyarakat.
2. Penggerak kegiatan Keluarah/Desa yang berhubungan langsung dengan masyarakat.
3. Tempat pembelajaran bagi masyarakat.
2.2.2. Sistem Teknologi
Salah satu bagian dari kebudayan manusia yang fungsinya sebagai alat bantu manusia dalam rangka mempertahankan hidupnya adalah teknologi. Kaitannya dengan hasil cipta manusia dan sebagai alat bantu dalam mempertahankan kehidupan, maka teknologi sangat erat hubungannya dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Teknologi bersifat dinamis, artinya terus berkembang dan berubah dengan arah perubahan sesuai tingkat kebutuhan dan keselarasan penggunanya. Artinya, sangat mungkin salah satu teknologi lama tidak dibutuhkan lagi dan diganti dengan teknologi yang baru, atau teknologi yang lama perlu penyempurnaan dalam beberapa hal, namun bisa juga terjadi, teknologi lama masih terus dipakai mengingat relevansinya masih tinggi.
Sistem teknologi yang tampak pada masyarakat Sukahaji dapat dikatakan dalam keadaan campuran, yakni penggunaan teknologi lama yang dipadu dengan teknologi modern, bahkan dalam pada beberapa bidang pekerjaan terjadi proses transisi dari sistem teknologi tradisional ke sistem teknologi modern. Dalam penggunaannya, kedua sistem teknologi ini memilki nilai kepentingan yang hampir berimbang, baik pada teknologi untuk mata pencaharisn, peralatan rumah tangga, sarana transportasi maupun komunikasi.
Pada bidang pertanian, penggunaan tenaga manusia dengan alat-alat tradisionalnya dipadu dengan teknologi modern. Teknologi modern yang digunakan oleh masyarakat Sukahaji antara lain traktor, pupuk buatan, dan obat insektisida untuk memberantas hama tanaman, serta mesin heuller yang digunakan dalam proses pengolahan padi menjadi beras mengantikan alat penumbuk padi tradisional (lesung dan alu). Masyarakat Sukahaji lebih menyukai menggunakan mesin heuller, karena dinilai lebih cepat dan ekonomis.
Sistem teknologi dalam bidang pertanian yang berupa perlatan tradisional, meliputi pacul (cangkul), wuluku (bajak), arit (sabit), parang, garit, dan landak. Sedangkan peralatan dan bahan berteknologi modern antara lain adalah traktor, mesi heuler, dan pupuk buatan. Nama, bentuk, serta fungsi peralatan-peralatan tradisional dalam bidang pertanian relatif sama dengan daerah-daerah lainnya, terutama tatar Sunda, Jawa Barat.
Di Sukahaji, mengingat rata-rata bluas lahan sawah milik para petani realtif luas, maka pengplahannya banyak menggunakan teknologi traktor. Guna mempercepat proses pengolahan sawah, biasanya dilakukan oleh beberapa orang secara bergotongroyong atau diupakan kepada buruh tani yang lain.
2.2.3. Sistem Pendidikan
Dalam arti lus, pendidikan adalah hidup. Artinya, pendidikan adalah segala pengalaman (belajar) di berbagai lingkungan yang berlangsung sepanjang hayat dan berpengaruh positif bagi perkembangan idividu. Dalam arti sempit, pendidikan dalam prakteknya identik dengan penyekolahan (schooling), yaitu pengajaran formal di bawah kondisi-kondisi yang terkontrol.
Sistem pendidikan di Kecamatan Sukahaji terbilang sudah cukup maju. Itu terlihat dari jumlah instansi pendidikan yang terdapat di Kecamatan Sukahaji tersebut.
• Taman Kanak-Kanak (TK) : 20
• Sekolah Dasar (SD) : 56
• Sekolah Menengah Pertama (SMP) : 3
• Madrsah Tsanawiah (MTS) : 2
• Sekolah Menengah Atas (SMA) : 2
Dengan demikian, Kecamatan Sukahaji mempunyai sistem pendidikan yang baik dan masyarakatnya sadar akan pentingnya suatu pendidikan bagi kesejahteraan hidup. Jika suatu masyarakat sudah sadar akan pentingnya suatu pendidikan maka hidupnya akan terjamin.
Adapun yang merupakan fungsi pendidikan, terutama pendidikan sekolah, seperti berikut:
1) Sosialisasi Nilai dan Norma
Di sekolah dalam mensosialisasikan nilai-budaya masyarakat kepada anak didik, maka diajar, dibimbing, dan diarahkan untuk mengikuti pola perilaku orang dewasa seperti cara-cara upacara keagamaan, drama, nyanyian, tarian, atau berperilaku sopan terhadap orang yang lebih tua.
2) Pelestarian Budaya Masyarakat
Melestarikan kebudayaan daerah akan lebih efektif apabila dilakukan oleh pendidikan sekolah, di samping mendapat dukungan dari pendidikan luar sekolah yang berupa kursus-kursus kebudayaan daerah melaui mata pelajaran yang diajarkan, berupa mata pelajaran tersendiri, muatan lokal yang diintegrasikan pada mata pelajaran yang relevan atau sebagai lokal kurikuler dari sekolah bersangkuta.
3) Reduksi Budaya
Pendidikan sekolah merupakan sarana untuk mengmebnagkan kebudayaan umat manusia, berupa ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa.
2.2.4. Sistem Perekonomian
Sebagian besar mata pencaharian utama penduduk Sukahaji, Kabupaten Majalengka adalah sebagai petani. Pertanian sawah di Kecamatan Sukahaji terdapat hampir di setiap desa, khususnya yang berlokasi di daerah pedalaman berbatasan dengan hutan jati. Pada umumnya sistem mata pencaharian tani di Kecamatan Sukahajisama halnya dengan wilayah-wilayah lain di Jawa Barat. Penggarapan sawah menggunakan sistem maro, mertelu,dan merpat.
Dalam sistem maro, pemilik dan penggarap masing-masing mendapat setengah bagian dari hasil panen. Biaya pengolahan lahan seperti membalik tanah, menyediakan benih, dan memberi pupuk ditanggung oleh penggarap, sedangkan pajak (PBB) ditanggung oleh pemilik. Menjelang panen pemilik penggarap memberi tahu pemilik kapan akan dilakukan panen. Apabila pemilik tidak bisa menyaksikan proeses panen hingga menjual bhasil panen, maka diwakili kepada penggarap, pemilik tinggal menerima uanggnya. Penggarap sawah yang menggunakan sistem mertelu, pemilik mendapat bagian dua per tiga dan penggarap mendapat setengah bagian dari hasil panen.
Selain di bidang pertanian, Kecamatan Sukahaji mempunyai potensi agribisnis yaitu, kehutanan, perikanan, perkebunan, dan peternakan. Kecamatan Sukahaji mempunyai komoditi yang dapat dihasilkan dari berbagai bidang, diantaranya:
Albasia
Alpukat
Alpuket
Ambupu
Aren
Ayam Buras
Ayam Pedaging Campuran
Ayam Petelur
Babi
Bambu
Bawang Daun
Bawang Merah
Bawang Putih
Belimbing
Buncis
Cabe Besar
Cassiavera
Cengkeh
Domba
Duku / Langsat / Kokosan
Durian
Durian(kehutanan)
Gembas/emes
Gurame
Ikan (segala Jenis)
Itik
Jagung
Jahe
Jambu Air
Jambu Biji
Jambu Mete
Jati
Jeruk
Jeruk Besar
Jeruk Siam / Keprok
Kacang Hijau
Kacang Merah
Kacang Panjang
Kacang Tanah
Kambing
Kangkung
Kapok
Kapolaga
Kedelai
Kelapa Dalam
Kelapa Hibrida
Kelinci
Kemiri
Kenanga
Kentang
Kerbau
Ketimun
Kina
Kopi
Kubis
Kuda
Labu Siam
Lada
Lengkuas
Mahoni
Mangga
Mangga
Manggis
Manglid
Markisa / Konyal
Mas
Melinjo
Mujaer
Nangka
Nenas
Nila
Nilem
Padi Ladang
Padi Sawah
Paria/pare
Pepaya
Petai
Petsai / Sawi
Petsai / Sawi(pertanian)
Pisang
Rambutan
Rambutan(kehutanan)
Salak
Sapi Perah
Sapi Potong
Sawo
Sepat
Sirsak
Sukun
Suren
Tambak
Tawes
Tebu
Teh Adb
2.2.5. Bahasa
Bahasa merupakan simbol ataupun alat untuk melakukan komunikasi. Bahasa yang digunakan di Sukahaji ialah bahasa ibu (Sunda) yang relatif sama dengan daerah-daerah lainnya, terutama dengan tatar Sunda, Jawa Barat. Dalam bahasa Sunda terdapat tingkatan bahasa yang digunakan yang disebut dengan undak-unduk basa, dimana diatur bagaimana berbicara dengan orang lain sesuai dengan tingkatan usia, pranata, dan kekerabatnnya.
2.2.6. Kesenian
Seni merupakan kecakapan membuat menciptakan sesuatu yang indah, suatu karya uyang diciptakan dengan kemampuan yang luar biasa. Seperti halnya daerah tataran Sunda lainnya, di Kecamatan Sukahaji kesenian yang berkembang di sana ialah Kesenian Jaipongan yang sudah mendarah-daging dengan masyarakat Sunda. Di Kecamatan Sukahaji, terdapat Paguyuban Seni Jaipongan yang pengelolaannya sangat baik sehingga sampai sekarang masing berjalan.
Perlatan yang digunakan dalam kesenian Jaiopongan di Kecamatan Sukahaji, sama halnya dengan kesenian Jaipongan di daerah tataran Sunda lain seperti Kendang, Suling bambu, Rebab, Goong, Kecapi dan lainnya. Agar kesesnian Jaipongan ini tetap ada dan lestari, harus ada peran aktif dari masyarakat serta aparat di sana.
2.2.7. Sistem Religi
Sistem religi erat kaitannya dengan konsep-konsep sebagai berikut:
- Emosi keagamaan yang meerupakan sentimen masyarakat.
- Sistem kepercayaan ; Tuhan, Roh Suci, Dewa, makhluk halus, kitab suci.
- Upacara keagamaan
- Kelompok agama
Teori-teori tentang keberadaan religi pada kehidupan manusia
1. Dasar timbul religi adanya konsep hidup dan mati.
2. Peristiwa mimpi pada saat tidur.
Menurut Taylor, terdapat dua alam dalam religi
1. Soul, melekat pada saat hidup (jiwa).
2. Spirit, bagian lain dari manusia (roh)
Menutur Maret, religi berasal dari peristiwa yang luar biasa sehingga menjadi religi. Menurut E.Durkheim, religi itu berasal dari firman Tuhan.
Van Genep. Crisis Rites
Sebagian besar masyarakat Sukahaji merupakan pemeluk agama Islam yang kental. Sehingga di Kecamatan Sukahaji terdapat organisasi Islam yang berkembang di sana seperti Muhammadiyah dan PERSIS. Walaupun demikian, di bagian desa yang pedalaman masih adanya kepercayaan animisme yang percaya terhadap sosok Buyut Cikeusik yang selalu dipuja-puja. Masyarakat di Kecamatan Sukahaji, khususnya masyarakat Cikeusik menganggap Buyut Cikeusik bisa memenuhi segala permintaan dan permohonannya.
KESIMPULAN
Kehadiran Syekh yang berupaya menyebarkan ajaran Islam, ternyata mendapat perlawanan dari pangeran Sindang Entang (Sukawetan). Bukti pernah terjadi pertempuran, yaitu dengan adanya Sedekan di pinggir Sungan Cikeuruh, Mojok di sudut Desa Cikeusik, makam Cagedang bekas Masuk Bumi, dan Munjul (Desa Munjul sekarang), sehingga Pangeran Sindang Entang tidak kuat dan menyerah, yang akhirnya menyukai Syekh Haji Abdullah, bahkan Syekh dijadikan sebagai menantu Pangeran. Dari perasaan suka itulah Tanjung Melayu dinamakan Sukahaji. Tetapi, Pangeran merasa keberatan apabila ia diislamkan oleh Syekh , kecuali oleh Raja Cirebon, ia tidak ke Sukahaji tetapi ke Sukaraja sekarang, dan karena itulah tempat tersebut dikenal dengan nama Desa Sukaraja.
Kecamatan Sukahaji dipimpin oleh seorang camat yang merupakan utusan dari Kabupaten. Sistem teknologi yang tampak pada masyarakat Sukahaji dapat dikatakan dalam keadaan campuran, yakni penggunaan teknologi lama yang dipadu dengan teknologi modern, bahkan dalam pada beberapa bidang pekerjaan terjadi proses transisi dari sistem teknologi tradisional ke sistem teknologi modern.
Sistem pendidikan di Kecamatan Sukahaji terbilang sudah cukup maju. Itu terlihat dari jumlah instansi pendidikan yang terdapat di Kecamatan Sukahaji tersebut. Sebagian besar mata pencaharian utama penduduk Sukahaji, Kabupaten Majalengka adalah sebagai petani. Bahasa merupakan simbol ataupun alat untuk melakukan komunikasi. Bahasa yang digunakan di Sukahaji ialah bahasa ibu (Sunda) yang relatif sama dengan daerah-daerah lainnya, terutama dengan tatar Sunda, Jawa Barat. Seperti halnya daerah tataran Sunda lainnya, di Kecamatan Sukahaji kesenian yang berkembang di sana ialah Kesenian Jaipongan yang sudah mendarah-daging dengan masyarakat Sunda.
Sebagian besar masyarakat Sukahaji merupakan pemeluk agama Islam yang kental. Sehingga di Kecamatan Sukahaji terdapat organisasi Islam yang berkembang di sana seperti Muhammadiyah dan PERSIS.
DAFTAR PUSTAKA
• Sumber Buku
Nasiku. (1995). Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Koentjaraningrat. (2003). Pengantar Antropologi-Jilid I. Jakarta: PT Asdi Mahasatya.
Panuju, Redi. (1994). Ilmu Budaya Dasar dan Kebudayaan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Pasya, R. Gunawan Kamil. (2000). Integrasi Masyarakat Indonesia. Bandung: Buana Nusa.
Syaripudin, Tatang. (2006). Landasan Pendidikan. Bandung: Sub Koordinatro MKDP Landasan Pendidikan, FIP, UPI.
• Sumber Internet
http://222.124.159.131/cms-mjlk-0.5.0 rc3/index.php?mod=pag&act=listPagMap&do=0&ID=360010010090&cms_majalengka_0_6_0=9613d1697535a69dc457faadee42e9ed
http://222.124.159.131/cms-mjlk-0.5.0-rc3/index.php?mod=public&act=content&do=0&ct=2&cnt=186&cms_majalengka_0_6_0=bf876afdc7645855957762072273fd08
http://id.wikipedia.org/wiki/Sukahaji,_Majalengka
LAMPIRAN
Peta Wilayah
Perang Banjarmasin
Episode I Perang Banjarmasin:
Kapal perang Belanda yang diberi nama Onrust menurut nama sebuah pulau di Teluk Jakarta ini, termasuk kapal perang kelas IV dan tidak begitu besar. Dikayuh dengan roda di samping, tengah, kiri dan kanan yang digerakkan oleh kekuatan uap batu bara. Ukurannya, melayakkan kapal ini untuk dipergunakan di sungai pasang surut dan banyak kelokannya.[@more@]
Benteng rakyat di Banua Lima yang melawan pasukan Belanda dengan gigih, satu per satu ditaklukkan dengan korban jiwa yang banyak di kedua belah pihak. Disebutkan, Demang Lehman, Aminullah dan lain-lain sebagai pahlawan yang mempertahankan benteng Gunung Lawak, Tanah Laut, Amuntai, Moening, Munggu Tayor. Pasukan Demang Leman yang sekitar dua ribu orang bersenjata, bersumpah untuk bersuci dengan darah musuh (Belanda).
Antasari telah meninggalkan Amuntai dan bermukim di tempat kerabatnya Soerapati, yang awalnya tetap setia kepada pemerintah Belanda. Akhirnya Soerapati bersama Antasari mengancam Bandjermasin. Letnan Bangert dibantu Haji Mohammad Taib sebagai perunding, dengan menumpang kapal Onrust dikirim ke Teweh untuk menyelidiki dan mengetahui keadaan serta mendesak Soerapati menyerahkan Antasari.
Soerapati diterima dengan sikap bersahabat dikapal uap (Onrust) itu. Tetapi bersama pengikutnya, Soerapati melakukan serangan khianat yang tidak bisa dilawan oleh perwira dan awak kapal; semua perwira dan awak kapal terbunuh. Haji Mohammad Taib berhasil meloloskan diri dari pembantaian ini dan dapat memberikan laporan terperinci tentang naas yang terjadi itu.
Taib pun bercerita tentang serangan itu dan dibenarkan oleh anak buah Soerapati yang berhasil ditawan Belanda. Diceritakannya, ketika mereka tiba Lontontoeor di tepi Sungai Teweh, Letnan Bangert mengutus Taib membawa beberapa helai surat kepada Soerapati dan Ariapati.
Hari berikutnya Soerapati datang melapor dengan 15 pengiring, anggota keluarga dan beberapa menteri menggunakan sebuah perahu besar dan beberapa jukung kecil.
Taib memperingatkan Letnan Bangert untuk mewaspadai sejumlah perahu tidak beratap yang menandakan ada maksud bermusuhan, karena dalam keadaan biasa perahu lazimnya memakai atap. Meski demikian, Soerapati diizinkan untuk naik ke kapal. Sementara perahu lainnya harus berlabuh dalam suatu jarak tertentu dari kapal Onrust.
Soerapati bersama sekitar lima putra dan menantu, masuk ke kamar kapten. Selama sekitar setengah jam mereka bersama Bangert dan van de Velde di kamar itu. Sementara Taib tetap di geladak kapal bersama sepuluh pengiring Soerapati. Perwira lainnya juga berada di geladak, sambil minum dan bercakap-cakap dengan ‘tamu-tamu’ itu. Beberapa perwira tidak bersenjata, selenihnya menyandang ponyaard (semacam pedang pendek).
Menjelang siang hari, semua kelasi bubar dan ada yang turun ke ruang bawah. Tertinggal hanya dua serdadu yang bertugas jaga dan bersenjatakan bedil.
Selesai perundingan, Taib melihat Bangert dan van de Velde naik ke atas diiringi Soerapati bersama lima putra dan menantunya. Waktu itu Bangert tidak bersenjata, sementara van de Velde menyandang ponyaard. Soerapati dipersilakan untuk melihat-lihat. Van de Velde menemani Soerapati melihat sebuah meriam kapal, Bangert membawa Ibon (salah seorang anak Surapati) ke meriam lainnya. Tiba-tiba Ibon menghunus kelewangnya, berteriak nyaring dan menebas Bangert hingga jatuh tersungkur.
Pada waktu yang sama, Soerapati menebaskan kelewangnya ke arah van de Velde yang masih dapat menghunus ponyaardnya dan menabrak Soerapati. Soerapati terluka di dahi, tetapi van de Velde terbunuh. Semua perwira kapal meloncat masuk ruang perwira melalui lubang angin dan kelasi berlarian ke dalam palka.
Mendengar teriakan Ibon, anak buah Soerapati yang menunggu sejumlah perahu segera merapat dan berlompatan ke atas kapal. Dalam sekejap, di geladak kalap itu terdapat sekitar 60 orang.
Taib yang tidak ingin telibat dalam perkelahian itu, melarikan diri dengan menuruni rantai sauh, masuk perahu dan berkayuh menuju darat.
Dalam jumlah besar perahu yang turut mengiringi Soerapati keluar dari tempat persembunyian di Lontontoeor dan secepat anak panah meluncur ke kapal Onrust. Dalam sekejap kapal penuh dengan orang dan mereka mengobrak-abrik kapal habis-habisan. Tidak terdengar tembakan sama sekali. Taib juga tidak tahu, di mana kedua serdadu jaga itu.
Saat terjadi pengobrak-abrikan kapal itu, Taib bersembunyi di sebuah lanting dan melihat lima orang Eropa berpakaian putih –mungkin stoker (petugas yang memuat batu arang ke api pemanas ketel uap)– menembakkan pistol mereka dan mencebur diri ke air. Mereka langsung disusul oleh orang-orang berperahu dan dibunuh di sungai.
Kemudian kapal Onrust mulai tenggelam. Namun Taib tidak tahu penyebabnya. Orang-orang itu masih tetap menghancurkan dan merampas semua barang di kapal, hingga geladak tenggelam. Setelah itu, perahu-perahu itu berkayuh ke hulu.
Selama peristiwa itu terjadi, keluar sedikit asap dari cerobong. Taib menduga, asap itu berasal dari dapur kapal. Setelah semuanya berakhir, Taib berkayuh ke hilir untuk melaporkan bencana tersebut.
Ketika memasuki kapal, orang-orang Banjar itu mengulum air di mulut mereka dan dengan air itu mereka membasahi lubang sulut meriam sehingga senjata itu tidak dapat disuluttembakan. Semua ini menunjukkan, penyerangan khianat ini dirancang sebelumnya dan berhasil. Kalau semula pihak Belanda merasa curiga walau sedikit, tentu akan disiapkan cara pencegahannya.
Semua awak kapal yang berjumlah 59 orang tewas termasuk Letnan Bangert dan Komandan Onrust Letnan Satu Laut JCH van de Velde. Peristiwa itu merupakan bencana besar, yang hingga di ibunegeri (Belanda) menimbulkan rasa terpukul, juga memperlihatkan betapa sikap bermusuhannya rakyat. Penghukuman yang setimpal, sementara harus dikesampingkan. Betapa pun diinginkannya, Verspyck belum dapat mengadakan tindak lanjut untuk menertibkan Lontontoeor. Tetapi pada awal tahun berikutnya, tindakan tersebut dimulai dan suatu ekspedisi angkatan laut dibentuk.
"Pengkhianatan Soerapati menghendaki pembalasan berdarah," kata Verspyck kepada pasukannya yang akan berangkat. "Darah taman-teman anda yang terbunuh hanya dapat tercuci bersih dengan darah dari pembunuh-pembunuh itu, sesuai dengan kejahatan yang telah dilakukan pengkhianat maka hukumannya harus sangat berat dan berkesan," tambahnya.
Dengan motivasi yang penuh emosi dan balas dendan berdarah inilah, Belanda memulai beberapa ekspedisinya. Ekspedisi di sini dimaksudkan: suatu pengiriman pasukan untuk menyerang dan menaklukkan musuh di suatu daerah yang letaknya jauh terpencil.
M Suriansyah Ideham
Wakil Ketua Lembaga Budaya Banjar Kalsel, tinggal di Banjarmasin
http://209.85.175.104/search?q=cache:ocBHQCjnutsJ:www.aman.web.id/2005/06/20/titletitleepisode_i_perang_banjarmasin_tenggelamnya_kapal_onrust/319/+perang+banjarmasin&hl=id&ct=clnk&cd=3&gl=id
Episode II Perang Banjarmasin:
Ekspedisi Montalat
Oleh : M Suriansyah Ideham
Pada 27 Desember 1859, kapal perang ONRUST ditenggelamkan oleh pasukan
Soerapati. Semua awak kapal yang berjumlah 50 orang tewas, termasuk Letnan
Satu Infanteri/Gezaghebber Marabahan Bengert dan Komandan Onrust Letnan Satu
Laut JCH van de Velde.
Pembahasan tidak dapat segera dilakukan oleh Belanda. Angkatan Laut Hindia
Belanda sibuk dalam Perang Bone (Celebes) ke-2 yang berlangsung pada
1858-1860. Dendam Belanda dilampiaskan setelah 17 bulan, dimulai dengan
Ekspedisi Montalat yang pertama.
Berikut terjemahan ringkas catatan yang dibuat anggota ekspedisi JMCE Le
Rutte, seorang perwira kesehatan yang bertugas menangani korban tewas, luka
dan sakit yang kemudian dibukukan dan diterbitkan.
Catatan sangat terperinci melaporkan setiap kejadian dan pengalaman setiap
hari selama ekspedisi untuk melumpuhkan benteng pertahanan
Antasari-Soerapati sekitar perairan Sungai Montalat, yang berdiri dengan
kukuhnya di Gunung Tongka menghadap Sungai Teweh di hulu Sungai Barito.
Lokasi yang jauhnya sekitar 300 tiga ratus kilometer dari Banjarmasin. Di
puncak benteng, dengan megah berkibar bendera Kuning.
Dalam bagian Pengantar buku yang berjudul Expeditie tegen de Versterking van
Pengeran Antasari, gelegen aan de Montalat River, ia bercerita. "Selama
bermukim di mandala-perang di wilayah selatan dan timur Borneo, saya
mendapat kehormatan untuk setia dalam beberapa penjelajahan. Di antaranya ke
Tanah Laut (10-24 Desember 1859) di bawah pimpinan Mayor GM Verspyck,
Kampung Balaih (3-10 Maret 1860) di bawah Kapten WB Graas, Kampung Ambawang
(3-10 Maret 1860) dan kubu pertahanan Batumandi, Pirenging (Paringin) dan
Kasambe (Kusambi) apda 7-17 Oktober 1860. Dalam pertempuran ini, saya
berkesempatan mengamati perilaku si prajurit dalam berbagai situasi. Tetapi,
tidak ada yang melebihi Ekspedisi Montalat, yang lebih berbahaya, lebih
mencekam dan lebih berpenderitaan, yang habis-habisan menguras ketahanan dan
pengorbanan di prajurit. Yang saya tulis ini apa adanya, apa yang telah saya
lihat dan saya alami. Tidak melebih-lebihkan, tidak membesar-besarkan,
apalagi menonjolkan diri saya sendiri."
Beberapa Catatan Penting
Kekuatan Benteng Gunung Tongka. Pada 28 Maret 1861, seorang anak buah
Soerapati tertangkap dalam tugasnya untuk membunuh seorang kepala kampung di
daerah Tamiang Layang. Dari tawanan ini diketahui, telah sejak dua bulan
Antasari membangun sebuah benteng pertahanan yang kuat; jumlah pasukan
tetap, persenjataan termasuk yang dijarah dari kapal Onrust, logistik yang
selalu cukup.
Di benteng ini tinggal pula sejumlah pemimpin penting. Di antaranya:
Pangeran Antasari, keturunan dari Pangeran Muhammad dan yang berhak atas
tahta Kerajaan Banjarmasin setelah Pengeran Hidayat diasingkan. Pangeran
Antasari disertai tiga putra dan delapan putrinya; Pembakal Melingkan,
pimpinan dari daerah Kurau; Gusti Umar; Gusti Laun; Tumenggung Mangkusari;
Tumenggung Genteng; Haji Matarip yang membunuh Nacestleur --komandan
Marabahan-- pada 13 Januari 1849. Bertahun-tahun lalu, ketika diminta untuk
menyerahkan Haji Matarip, Tumenggung Soerapati melaporkan bahwa ulama ini
telah meninggal; Tumenggung Toendan; Tumenggung Taib yang bermuka dua dalam
peristiwa Onrust; Beberapa pemimpin rendahan, di antaranya Wangkang --orang
pertama yang memulai pembantaian di kapal Onrust. Ayah Wangkang, pembakal
Kendet yang dikenakan hukuman gantung oleh pengusaha Belanda pada Maret 1825
di Banjarmasin. Wangkang bersumpah di bawah kitab suci Alquran untuk
membalas dendam kematian ayahnya itu.
Di Benteng Gunung Tongka ini pula tempat berhimpun dan bersembunyi pemuka
perlawanan. Benteng Gunung Tongka ini memang kuat dan strategis lokasinya.
Rencana Penyerangan Mayor Verspyck
Informasi pembangunan Benteng Gunung Tongka menjadi dasar rencana ekspedisi
Montalat. Dalam strategi Mayor Verspyck, pengempungan dilakukan dari tiga
arah:
1. Dari utara, pasukan Kutai yang berkekuatan 2.000 orang dipimpin Sultan
Kutai, bersama Asisten Residen Dharmen dan Letnan A de Brauw
2. Dari selatan -Banjarmasin, Marabahan- kapal-kapal perang Celebes, Boni,
Mengkatip dan kapal uap Kapitein van OS memudiki Sungai Barito didukung oleh
pasukan orang Bakumpai berkekuatan 350 orang.
3. Kedua pasukan tersebut bergerak atas berita dari pasukan yang mengambil
jalan pintas melalui darat dari Tamiang Layang ke barat menuju Buntok.
Di bawah pimpinan Mayor Infanteri CA Schuak yang tiba di Benteng Tamiang
Layang pada 8 Mei 1861, ekspedisi ini diperkuat 568 orang. Dengan perincian;
142 anggota pasukan militer, pasukan pendukung yang terdiri atas 224 orang
Dayak Sihung dan 176 orang dari Dayak Patai, 26 tahanan/perantaian dan
pekerja paksa.
Pasukan pendukung yang diberi upah f 25 (setali atau 25 sen) per hari,
berstatus noncombatant, bukan pasukan tempur. Mereka tidak diberikan bedil,
tetapi masing-masing membawa sendiri senjata tradisional. Tugas pasukan
pendukung ini adalah pemandu, pemikul barang, melayani ambulans, perintas
jalan di hutan lebat dan belukar.
Sementara militer pasukan combatant terdiri atas perwira Belanda dengan
orang-orang Jawa sebagai soldadu. Juga ada pasukan belakang dari orang-orang
Bugis dengan tugas untuk -setelah direbut- membumihanguskan semua kubu dan
rumah di sekitarnya. Juga membabat pohon buah-buahan, merusak pehumaan
dengan terlebih dahulu mengumpulkan bahan logistik yang tertinggal seperti
bahan makanan, ternak dan lainnya untuk menambah sisa persediaan.
Perjalanan kembali pasukan Verspyek ini direncanakan melalui sungai di
tempat perjanjian dengan Kapal Perang Boni.
Gagal
Ekspedisi pertama ini gagal, dalam arti tidak mencapai tujuan/objective
yakni menaklukkan Benteng Gunung Tongka dan menangkap Pangeran Antasari
serta pemimpin perlawanan lainnya.
Faktor yang menggagalkan itu ialah: penghadangan dan penyergapan oleh
pasukan Antasari sepanjang perjalanan siang dan malam; pembelotan di antara
pasukan pendukung yang bergabung dengan Antasari; tertawannya sejumlah kuli
pasukan pendukung. Tawanan ini dipekerjajan di ladang atau dijual dengan
harga f 60 (60 gulden) tiap orang, sebagian besar berhasil lolos dan kembali
ke pasukan Mayor Schuak; luas dan berbahayanya medan yang ditempuh seperti
hutan, belukar, sungai, lumpur, jebakan; kapal perang tidak berani mudik
terlalu jauh, sebab belum mengetahui kedalaman alur sungai yang dapat
dilayari, pasang surut yang belum dipelajari, di beberapa bagian tertentu di
sungai ditebarkan gelombang dan cabang berdaun sebagai barikade yang
membahayakan; anggota pasukan yang tewas, terluka, sakit dan kelelahan
menjadi beban; logistik yakni kehabisan bahan makanan karena tenggelam
dibawa pembelot, membusuk; untuk menghindarkan lebih banyak korban.
Kerugian militer Mayor Schuak adalah tujuh orang tewas, 20 luka-luka, tujuh
meninggal karena kelelahan dan satu orang meninggal. Sedangkan dari sebanyak
19 orang, yakni 11 orang Dayak Sihung tewas dan delapan dari Dayak Patai
luka-luka. Namun tidak diketahui angka kerugian Pangeran Antasari.
Faktor kegagalan ekspedisi pertama ini tentu diperhitungkan dalam ekspedisi
berikutnya. Belanda bertekad untuk menaklukkan Benteng Gunung Tongka dan
mendapatkan Pangeran Antasari, hidup atau mati.
Pasukan Antasari meninggalkan Benteng Gunung Tongka. Sementara Pasukan
Sultan Kutai dan Pasukan Bakumpai tidak diperlukan dalam ekspedisi ke-3 ini.
Menerima berita bahwa benteng pertahanannya akan diserang lagi, pada 5
November 1861 Pangeran Antasari menghimpun 24 pemimpin perlawanan dan 760
pengikut. Tidak seorang pun meninggalkan banteng apabila diserang dan yang
mengabaikan larangan ini dihukum mati.
Serangan Belanda dilakukan pada 8 November 1861. Tumenggung Macan-Alas,
pendamping Pangeran Antasari yang berani, ketika membidikkan bedilnya kepada
Komandan Van Vloten, ia juga tertembak di kepala hingga terlempar ke dalam
benteng.
Seorang Bakumpai yang duduk di belakang Antasari, tewas terkena peluru
menyasar (ricochet). Namun sebelum mengenainya, peluru menyerempet di leher
Antasari yang menyebabkan luka dan berdarah. Luka tembak yang dialami Van
Vloten, akhirnya membawa ajal bagi komandan ekspedisi itu.
Menjelang malam beberapa orang dayak anak buah Soerapati melihat pasukan
Belanda tidak mundur dan tetap bertahan mengepung. Orang-orang Dayak itu
khawatir akan digempur kembali esok harinya. Ketika malam waktu memasak,
mereka berusaha lari dengan memanjat pagar keliling. Yang lain mengira,
pemanjat pagar itu penduduk dari ekspedisi yang menyerbu. Kepanikan pun
terjadi. Semuanya lari menuju Kampung Tumbu. Ke kampung ini, beberapa hari
sebelum penyerangan pasukan Van Vloten, Antasari mengungsikan perempuan.
Esok harinya 9 November 1861, benteng yang kosong itu dimusnahkan setelah
senjata dan logistik yang tertinggal diamankan.
Tetapi Antasari tidak pernah tertanggap. Setelah meninggal karena sakit,
perlawanan masih dilanjutkan oleh keturunannya Pengeran Muhammad Seman dan
Wanita-Pahlawan Ratu Jaleha. Pangeran Antasari diberi anugerah gelar
Pahlawan Nasional Indonesia dengan Surat Keputusan Presiden RI tanggal 27
Maret 1968 No 06/tki/Tahun 1968
Semua yang ditulis dalam buku Sejarah Nasional, yang direkam dalam
Ensiklopedia Indonesia tentang pertempuran dan perlawanan Perang Banjar yang
pertama di Indonesia selama 47 tahun. Dibanding dengan perlawanan serupa
yang terjadi di daerah lain seperti Perang Saparua, Perang Palembang, Perang
Paderi, Perang Jawa, Perang Ambon dan lainnya, Perang Banjar hanya ditulis
beberapa baris. Di antaranya pada 1636 yakni kedatangan pertama Belanda di
Banjarmasin; 1859-1863 terjadi Perang Banjarmasin; 1900-1905 Perlawanan
Kalimantan Selatan berakhir.
Wakil Ketua Lembaga Budaya Banjar Kalsel,
tinggal di Banjarmasin
Copyright © 2003 Banjarmasin Post
http://209.85.175.104/search?q=cache:_IPw8FcyhMoJ:www.freelists.org/archives/ppi/12-2004/msg02440.html+perang+banjarmasin&hl=id&ct=clnk&cd=2&gl=id
MULTIKULTURISME DAYAK DAN PROSPEK REKONSILIASI DI KALIMANTAN
MULTIKULTURISME DAYAK
DAN PROSPEK REKONSILIASI DI KALIMANTAN
oleh John Bamba, Direktur Institut Dayakologi
Dimuat di harian Media Indonesia 10 Desember 2001
Pada masa lalu, ada mayat yang dikubur dengan cara dibakar; ada yang berjalan ke lubang kuburnya sendiri; ada yang dibiarkan berada dalam peti mati yang tertutup rapat selama berbulan-bulan menunggu para pengayau kembali dengan membawa beberapa kepala hasil kayauan; tetapi ada juga yang dikubur dengan cara biasa. Itulah gambaran multikulturisme Dayak.
Dayak bukanlah identitas yang mengacu pada satu komunitas saja. Bahkan kesepakatan tentang penggunaan istilah Dayak sendiri sesungguhnya belum tuntas. Lihat misalnya buku karangan Mikhail Coomans (1987) atau Herman Joseph van Hulten (1992) atau bahkan yang penulisnya adalah orang Dayak sendiri, Thambun Anyang (1998) yang semuanya menggunakan istilah 'Daya' bukan Dayak. Bahkan beberapa penulis lain ada yang menggunakan istilah Dyak atau Daya'. Versi manakah yang benar? Yang benar, istilah itu bukan berasal dari orang Dayak. Ia bukan istilah yang given melainkan gifted yakni istilah yang diberikan oleh orang lain. Dayak bukan primary ethnicity melainkan secondary ethnicity, yakni identitas yang digunakan orang Dayak dalam berhubungan dengan etnis lain daripada antarsesama Dayak. Adapun yang menyangkut beragamnya versi penulisan kata Dayak, mungkin juga merefleksikan salah satu aspek multikulturisme tersebut.
Karenanya, jika yang kita maksud dengan Dayak adalah penduduk asli Kalimantan, maka sesungguhnya kita berbicara tentang ratusan identitas (sub)etnis yang - selain adalah penduduk asli Kalimantan - memiliki beberapa persamaan umum saja misalnya dalam hal asal-usul, worldviews atau bentuk fisik. Bahasa orang Dayak itu ratusan, upacara adatnya berlainan, tradisinya juga berbeda-beda. Tradisi mengayau misalnya. Salah besar jika mengatakan bahwa semua orang Dayak pada zaman dulu adalah pengayau. Anggapan ini sama saja dengan mengatakan bahwa semua orang Dayak beragama Kristen atau semua yang berperang dengan orang Madura itu Dayak. Singkat kata, Dayak itu multietnis, tentu saja jika definisi etnis kita persempit.
Karena Dayak itu 'multietnis', maka tidaklah terlalu sulit untuk menemukan multikulturisme dalam kebudayaannya, sebab realitas Dayak sendiri sudah multikultur. Bahasanya berbeda-beda, demikian pula tradisi yang dimiliki masing-masing subetnis. Karena itulah dalam realitas eksistensial komunitas-komunitas tersebut, pada suatu masa dalam sejarah di masa lampau, komunitas-komunitas Dayak itu adalah orang lain satu sama lain. 'Orang lain' tidak hanya berarti tidak tergabung dalam sebuah identitas kolektif--atau semacam 'pan-dayakisme' --seperti yang dikenal sekarang, tetapi beberapa di antara komunitas tersebut juga saling serang dan saling bunuh secara fisik. Sehingga pemerintah kolonial Belanda perlu mengambil inisiatif untuk mengumpulkan wakil-wakil komunitas tersebut di Tumbang Anoi (Kalimantan Tengah sekarang) pada 1894 dalam rangka menyelesaikan pertengkaran-pertengkaran akibat berbagai perkara pembunuhan, penahanan, dan perampokan. Harap dicatat bahwa menurut SW Tromp, Residen Kalimantan Afdeling Barat yang melaporkan dari pertemuan tersebut, pesertanya tidak hanya perwakilan dan Kepala Adat Dayak tetapi juga Kepala Adat Melayu.
Pertemuan Tumbang Anoi tidak hanya membuktikan bahwa orang Dayak pada masa lampau terlibat dalam permusuhan satu sama lain dan dengan etnis lain, tetapi juga (dan ini yang penting) bahwa secara kultural mereka memiliki potensi untuk menyelesaikan segala permusuhan dan dendam yang ada. Dengan kata lain, mereka memiliki semangat rekonsiliasi yang secara konkret dibuktikan --salah satunya-- melalui pertemuan di Tumbang Anoi itu. Benarkah orang Dayak bisa berdamai dan memaafkan? Unsur-unsur budaya Dayak manakah yang memungkinkan untuk itu?
Budaya Rumah Panjang
Seandainya budaya rumah panjang orang Dayak tidak dihancurkan dan dibiarkan hancur menjelang akhir 1960-an dan awal 1970-an, perang antaretnis yang marak belakangan ini akan lebih mudah dicarikan solusinya. Setiap rumah panjang yang terdiri dari puluhan KK itu (ada yang ratusan juga), memiliki seorang pemimpin atau Tuai Rumah (Dayak Iban). Peranan Tuai Rumah tidak seperti Kepala Adat sekarang yang dijadikan bawahan Kepala Desa (Gabungan) dan mengantongi SK dari bupati, meskipun di banyak tempat usaha ini tidak selalu efektif untuk memorak-porandakan kepemimpinan beberapa kepala adat yang ada. Tuai Rumah adalah pemimpin sejati yang berurat-berakar di komunitasnya, Komunitas Rumah Panjang. Ia memiliki akses terhadap aktivitas semua anggota komunitasnya termasuk apa yang mereka rasakan, inginkan, dan ekspresikan. Tindakan seorang warga komunitas pastilah diketahui oleh Tuai Rumah dan omongan Tuai Rumah didengarkan oleh warganya. Sangat kontras dengan omongan para tokoh adat sekarang yang kebanyakan tidak dihiraukan oleh komunitasnya. Warga komunitas rumah panjang yang bergerombol atau berkumpul dengan tujuan untuk melakukan sesuatu pun pasti sepengetahuan Tuai Rumah. Jadi, legitimasi kepemimpinannya jelas sehingga orang Dayak tidak mesti mencari-cari pemimpin lain seperti para panglima yang menjadi gejala umum sekarang (dan mulai menular ke etnis lainnya). Aparat keamanan dan para penegak hukum pun tidak usah repot-repot mencari provokator atau dalang, jika sesuatu terjadi.
Agar dapat melestarikan nilai-nilai budaya rumah panjang tersebut, dibutuhkan lingkungan fisik dan sosial yang mendukungnya. Rasa kebersamaan, saling percaya, dan semangat solidaritas yang sangat kuat dalam komunitas rumah panjang tidak bisa dibangun dari pintu ke pintu rumah warga yang tunggal seperti sekarang di bawah koordinasi Pak RT. Sebab untuk berkumpul dalam sebuah pertemuan saja, orang Dayak sekarang menuntut diberi surat undangan resmi dan tertulis, jika tidak, banyak di antara mereka tidak mau datang karena malu merasa tidak diundang.
Jadi, budaya rumah panjang menjamin adanya akses komunikasi yang efektif dan kepemimpinan yang jelas. Dua aspek ini sangat penting dalam proses penanganan sebuah konflik yang sedang terjadi.
Hukum Adat
Hukum adat dibuat untuk menciptakan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat berdasarkan norma-norma yang dianut. Sesuai dengan namanya, hukum adat berakar pada adat istiadat yang berlaku secara lokal, bukan hukum yang berkait berkelindan dengan tuntutan internasional dan global. Hukum adat jelas memiliki pula nilai-nilai universal, namun universalnya komunitas yang lokal. Hukum adat Dayak diberlakukan untuk mencegah tindakan-tindakan main hakim sendiri - dengan kekerasan maupun tidak - baik oleh warga komunitas yang bersangkutan maupun oleh warga luar terhadap komunitas tersebut. Orang Dayak sangat menghormati hukum adatnya dan dengan cara demikianlah mereka berhasil menyelesaikan 233 perkara secara adat dalam waktu dua bulan pada 1894 di Tumbang Anoi.
Masalah akan timbul bilamana hukum adat sekonyong-konyong, entah karena apa, menjadi seolah-olah tidak jalan, tidak sah, dan pintu keadilan lainnya pun (baca: supremasi hukum negara) menjadi mandul. Milik orang dirampas seenaknya, orang diusir, sumber kehidupannya dihancurkan, dan bahkan kadang-kadang dibunuh tanpa penyelesaian hukum yang jelas, atas nama 'pembangunan', 'persatuan dan kesatuan' atau 'nasionalisme'. Kondisi ini akan membuat orang frustrasi dan bagi warga komunitas yang cenderung berpikiran sederhana, mereka biasanya tidak membutuhkan para provokator untuk mengambil alih hukum ke dalam tangannya sendiri, apalagi jika para provokator tersebut memang terbukti ada.
'Universalitas' hukum adat Dayak itu (yang berlaku di semua subetnis) ditandai dengan tidak dikenalnya hukuman mati dan karenanya tidak dikenal prinsip 'nyawa ganti nyawa'. Jika orang Dayak membalas membunuh bilamana ada warga komunitasnya yang dibunuh, itu bukan karena prinsip 'nyawa ganti nyawa' melainkan karena keadilan telah dirampas dari mereka melalui mandulnya hukum adat yang mestinya berlaku atau hukum negara yang gagal berfungsi. Kalau hal itu terjadi sekali atau dua kali, biasanya tidak sampai memicu tindakan balas dendam. Namun, bila hal itu terjadi berulang kali apalagi sampai belasan kali oleh pelaku dari latar belakang yang relatif sama, maka orang menjadi sangat sensitif dan pembalasan sulit dihindari. Tengok saja pemerintah Amerika dan sekutunya yang mengklaim dirinya sebagai kampiun hak asasi manusia dan paling beradab, juga tidak bisa menghindarkan diri dari perangkap balas dendam tersebut.
Budaya Kolektif
Orang Dayak berpandangan bahwa alam ini adalah rumah bersama bagi semua makhluk, termasuk makhluk-makhluk yang tidak kelihatan. Karena itu, manusia tidak boleh memonopoli alam untuk kepentingan manusia semata. Atas prinsip inilah, unsur-unsur alam yang berseberangan dengan kepentingan manusia tetap harus diberi tempat untuk eksis. Makhluk-makhluk yang biasanya mengganggu kehidupan manusia seperti setan dan hantu juga diberi makan bilamana ada ritual yang berhubungan dengan hal tersebut diadakan. Harap diingat, bahwa memberi makan setan atau hantu tidak sama dengan 'menyembah' setan atau hantu; sama seperti jika kita memberi makan ayam, tidak berarti menyembah ayam. Intinya adalah, hubungan yang harmonis dengan semua unsur alam harus dipertahankan dengan memperlakukan semuanya secara proporsional dan adil, tidak dengan cara diskriminatif. Sebab semua yang ada di alam merupakan ciptaan Yang Maha Kuasa. Jika Yang Maha Kuasa saja memberi kesempatan bagi semua makhluk, apalagi manusia.
Prinsip kebersamaan dalam budaya Dayak ini tidak main-main. Ada pepatah Dayak yang mengatakan, 'Anjing saja diberi makan, apalagi manusia'. Ada juga pepatah lain yang mengatakan, 'Sesama saudara diajak makan, tamu diberi beras'. Maksudnya adalah penghormatan terhadap keberadaan manusia seperti apa adanya. Seorang tamu yang belum diketahui secara persis latar belakangnya, mungkin memiliki cara-cara makan yang berbeda dengan orang Dayak sehingga memberikan 'bahan makanan' dianggap sebagai keputusan yang paling bijaksana agar sang tamu dapat mengolah makanan dengan cara yang sesuai dengan keadaannya. Semangat kebersamaan orang Dayak itu secara efektif dapat pula kita lihat dalam berbagai perang antaretnis yang terjadi di Kalimantan. Dalam kondisi geografis yang terpencar-pencar di pedalaman serta sarana komunikasi dan transportasi yang sangat tidak memadai, orang Dayak dengan mudah berkumpul. Mangkok Merah yang sering dipublikasikan sebagai sarana komunikasi orang Dayak itu, bukan merek handphone. Ia cuma sebuah mangkuk dengan beberapa tetes darah ayam, sepuntung rokok, selembar bulu ayam, dan secarik daun kajang yang biasa dipakai sebagai bahan untuk membuat atap rumah. Mangkuk itu diedarkan dari kampung ke kampung dengan berjalan kaki dan berlari, bukan melalui pesan e-mail. Dengan cara itu, orang Dayak sudah akan berkumpul secara cepat dan dalam jumlah yang fantastis.
Transformasi dan Rekonsiliasi
Jika semangat kebersamaan terhadap semua makhluk dalam budaya Dayak begitu kuat, mengapa mereka bisa menjadi sangat intoleran seperti yang kita lihat dalam beberapa pertikaian etnis yang terjadi di Kalimantan? Jawaban atas pertanyaan ini telah berusaha diberikan oleh banyak pengamat, analis, wartawan, dan peneliti. Beberapa di antaranya adalah kebijakan monokulturisme Orba, ketidakadilan, benturan budaya, lemahnya supremasi hukum, pertarungan politik, dan penindasan. Tulisan ini tidak akan memperpanjang daftar tersebut, melainkan apakah multikulturisme Dayak itu bisa mewujudkan sebuah Kalimantan yang damai dalam keberagaman?
Orang Dayak sering kali diidentikkan orang lain dengan kebiadaban, keprimitifan, keterbelakangan, kemiskinan, dan kebodohan. Waktu saya masih kecil dulu, seorang anak yang kena flu dan malas membuang ingusnya sehingga mengering di kedua pipinya, dikatakan, "Seperti anak Dayak saja kamu!" Di luar Kalimantan, banyak orang yang percaya (bahkan beberapa di antaranya sampai sekarang) bahwa orang Dayak itu berekor, membuat rumah di atas pohon, dan makan manusia mentah maupun masak.
Karena itu, jika ada perilaku orang yang idiot dan mengundang tertawaan, disebut dayak-dayakan (mudah-mudahan nama panggilan salah seorang pelawak terkenal itu tidak ada hubungannya dengan stereotipe ini). Beberapa media internasional pun masih mengeksploitasi stereotipe ini dalam pemberitaan mereka tentang berbagai peristiwa yang melibatkan orang dayak belakangan ini. Jika dibaca, style pemberitaan tersebut umumnya mengarah pada satu kesimpulan: orang Dayak itu semuanya pengayau dan makan manusia dan masih berlangsung hingga sekarang.
Ketika elite-elite politik berdebat tentang komposisi kabinet, orang Dayak tidak pernah disebut-sebut sebagai salah seorang yang harus ada wakilnya, terlepas dari berapa besar peranan mereka dalam menyumbang devisa kepada negara melalui hutan-hutan mereka yang diporak-porandakan dan budaya mereka yang dihancurkan. Toh, mereka sekarang sudah minoritas di Kalimantan dan yang lebih penting lagi belum ada yang cakap untuk menjadi pemimpin. Lagi pula, orang Dayak tidak pernah demonstrasi di Bundaran HI untuk diberi jatah kursi menteri, apalagi mengarak-arak bendera Kalimantan.
Dayak yang dulu beranggapan bahwa semua makhluk penghuni dunia harus diperlakukan dengan adil dan tamu-tamu harus disambut dengan ramah agar hidup mereka tenang dan damai, makin lama makin ragu. Kebaikan, kejujuran, dan kepolosan ternyata sekarang sudah tidak baik lagi. Orang sekarang main rampas, main ancam, main paksa, dan main bunuh. Siapa yang kuat dialah yang menang. Dunia sudah berubah; perilaku manusia cenderung kembali ke zaman nenek moyang yang mengayau dulu. Mereka belajar bahwa supaya bisa tetap eksis, mereka harus berani melawan. Pemerintah pun sekarang tidak bisa dipercaya lagi untuk memberikan perlindungan dan keadilan kepada mereka, termasuk para polisi dan tentara. Lihat saja tindakan perampasan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar terhadap tanah dan tempat tinggal mereka, semuanya dilakukan dengan izin resmi berdasarkan hukum pemerintah dan di-back-up oleh aparat. Hukum adat mereka sendiri tidak diakui, apalagi ditaati. Akibatnya mereka merasa disingkirkan, dikorbankan.
Karena itu, untuk menciptakan sebuah Kalimantan yang damai, pertama-tama kedilan harus ditegakkan. Keadilan tidak hanya menyangkut masalah ekonomi; tidak juga dengan memberikan otonomi yang hanya ditafsirkan sebagai melimpahkan penguasaan atas sumber daya ekonomi kepada pemerintah daerah. Keadilan adalah masalah eksistensial dan eksistensi menyangkut harkat dan martabat manusia yang melampaui aspek ekonomis semata.
Hukum adat yang merupakan wahana penyelesaian setiap permasalahan secara damai dan non-violence dalam masyarakat adat, mestinya diberdayakan dan diperkuat efektivitasnya melalui pengakuan yang jelas dan tegas akan keberadaannya di tengah-tengah masyarakat. Hal ini tentu saja tidak berarti bahwa hukum adat harus diberlakukan secara nasional sebab hakikat hukum adat adalah aturan yang berlaku secara lokal. Namun, peran hukum adat sebagai pelindung dan pengayom rasa keadilan komunitas yang menerapkannya harus didukung oleh negara.
Demikian pula kepemimpinan yang efektif seperti yang tergambar dalam pengelolaan komunitas rumah panjang yang berlandaskan adat istiadat yang berlaku dalam komunitas Dayak, membutuhkan usaha revitalisasi dan restitusi agar kembali menemukan efektivitasnya sehingga memudahkan komunikasi dan koordinasi dalam pemecahan masalah-masalah yang dihadapi. Dengan kehadiran pemimpin-pemimpin yang legitimate dalam masyarakat, solusi-solusi terhadap permasalahan yang timbul dapat diselesaikan secara dini melalui para pemimpin yang dihormati dan dihargai oleh masyarakatnya.
Beberapa hal dia atas, jika dilaksanakan mungkin tidak akan serta merta menyelesaikan secara tuntas dan permanen persoalan antaretnis yang sering terjadi di Kalimantan. Namun, setidak-tidaknya, jika masalah-masalah tersebut ditangani, niscaya akan menyentuh beberapa akar persoalan yang melatarbelakangi setiap konflik yang ada yakni terciptanya keadilan dalam sebuah Indonesia yang multikultur.
Dusa Malakng, Buat Penyelingkuh
Suatu malam, warga memergoki Jari (bukan nama sebenarnya), seorang pemborong sebuah proyek jalan sedang "bercinta" dengan Es (juga bukan nama sebenarnya). Keduanya sama-sama sudah berkeluarga. Saat kejadian, suami Es kebetulan tidak berada di rumah.
Menurut Deka, seorang warga masyarakat adat Dayak Krio Ketapang yang tinggal di Pontianak, perselingkuhan antara Jari dengan Es itu merupakan pelanggaran terhadap hukum adat dusa malakng (suami orang lain berselingkuh dengan isteri orang lain). Penyelesaian kasusnya harus melalui perkara adat yang dipimpin oleh seorang mantir adat (orang yang khusus mengurus masalah hukum adat).
Deka menjelaskan, hukum adat dusa malakng ini terdiri dari dua jenis, yakni dusa malakng kepada pihak suami perempuan yang berselingkuh dan dusa malakng kepada pihak isteri laki-laki yang berselingkuh, ditambah donda padusa (pihak laki-laki dan perempuan yang berselingkuh membayar adat kepada mantir).
Dikatakan Deka, besar masing-masing hukum adatnya berbeda. Dalam dusa malakng suami orang, pihak laki-laki yang berselingkuh mengeluarkan adat berupa 3 x selawi (nilai satuan hukum adat tertinggi). Selawi setara dengan 2 x 16 poku (nilai satuan hukum adat di bawah selawi). Sepoku sama dengan sekitar delapan centimeter rantai perak, sama dengan empat singkar piring putih. Sedangkan selawi sama dengan delapan singkar piring putih. yang nilainya sebesar . Pihak laki-laki yang berselingkuh juga wajib mengeluarkan 3 buah tempayan, dua belas singkar pingatn (piring) putih, tiga ekor ayam dan seekor babi. "Semua adat itu diberikan kepada pihak suami perempuan yang berselingkuh," kata Deka.
Hukuman sejenis diberikan juga kepada pihak perempuan yang berselingkuh. Ia harus mengeluarkan adat kepada pihak isteri laki-laki yang berselingkuh dengan tiga buah tempayan, dua belas singkar piring putih, tiga ekor ayam dan seekor babi. "Hukum adat ini diberikan karena pihak perempuan mengganggu suami orang lain," tandas Deka.
Disamping dikenakan hukum adat dusa malakng, keduanya dijatuhi donda padusa (denda adat). Masing-masing harus mengeluarkan adat dengan sebuah tempayan tajo (tajau), selawi, sebuah tempayan tuak, seekor ayam dan seekor babi. "Denda adat ini diatur oleh mantir yang memutuskan perkaranya," jelas Deka.
Dalam kasus seorang bujangan berselingkuh dengan isteri orang lain atau seorang gadis berselingkuh dengan suami orang lain maka hukum adat hanya dijatuhkan kepada pihak laki-laki yang belum berkeluarga atau pihak perempuan yang berkeluarga. Artinya, yang mengeluarkan adatnya hanya pihak yang belum berkeluarga. Sedangkan pihak perempuan atau laki-laki yang sudah berkeluarga sama sekali tidak dikenakan, kecualai donda padusa. "Masalahnya, yang belum berkeluarga itu mengganggu orang yang sudah berkeluarga," kata Deka beralasan.
Hukum adat yang harus ditanggung oleh pihak laki-laki atau perempuan yang belum berkeluarga adalah 3 x selawi, tiga buah tempayan, dua puluh singkar piring putih, tiga ekor ayam, seekor babi dan sebuah tempayan tajau sebagai penyaman hati. Semua adat itu diberikan kepada pihak suami atau isteri yang menjadi lawan selingkuh pihak perempuan atau laki-laki yang belum berkeluarga.
Donda padusa dalam kasus perselingkuhan antara pihak laki-laki atau perempuan yang belum berkeluarga dengan pihak perempuan atau laki-laki yang sudah berkeluarga sama dengan donda padusa pada orang yang sama-sama berkeluarga. Masing-masing pihak wajib membayarnya dengan tempayan tajo (tajau), selawi, sebuah tempayan tuak, seekor ayam dan seekor babi. Adat padusa ini pun diurus dan diatur oleh mantir adat yang memutuskan perkara.
Sepengetahuan Deka, hukum adat perselingkuhan Dayak Krio yang sekarang tidak seketat zaman dulu. "Dulu perempuan dan laki-laki tidak boleh berpapasan di jalan; tidak boleh bersamaan naik tangga rumah, walaupun yang satu naik dari tangga belakang dan yang satu naik dari tangga depan; tidak boleh mencium anak orang karena karena dianggap sebagai cium kiriman; tidak boleh ada bekas ludahan kapur sirih pada lantai jika suami seseorang sedang tidak ada di rumah," kisah Deka.
Langganan:
Postingan (Atom)