4 my nation

4 my nation

Senin, 14 Desember 2009

Multi partai atau sedikit partai yang cocok di Negara Indonesia?

Sebagai bagian dari sebuah kelembagaan dalam konteks negara demokratis, seperti yang telah dijelaskan sepintas di atas bahwa partai politik memiliki posisi (Status) dan peranan (Role) yang begitu sentral dalam menghubungkan pandangan-pandangan umum yang timbul dalam masyarakat dengan pemerintah. Seorang tokoh yaitu Schattscheider berpendapat mengenai peranan partai politik yang memiliki peran dalam pembentukan corak demokrasi dalam suatu negara, ia menyatakan “Political parties created democracy”.
Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 pengertian partai politik seperti yang telah disebutkan di atas adalah sebuah lembaga nasional yang diidentifikasikan sebagai lembaga yang mengedepankan kepentingan politik anggota-anggotanya. Fungsi partai politik dibedakan kepada tiga keadaan yang berbeda, yaitu di negara demokratis (dalam hal ini lebih cenderung kepada negara maju), negara otoriter, dan negara berkembang. Adapun fungsi partai politik dalam negara demokratis sangat kentara dan bekerja sebagai layaknya sebuah partai politik, di negara berkembang tujuan dan fungsi partai politik hampir serupa dengan negara demokratis, namun ada beberapa permasalahan sosial kemasyarakatan yang menghambat efektifitas kinerjanya, adapun pada negara otoriter partai politik tergantung, apakah partai politik tersebut berkuasa atau tidak?, apabila partai politik tersebut berkuasa maka secara otomatis dia akan mudah merealisasikan tujuannya namun berbeda apabila partai tersebut tidak berkuasa maka fungsinya tidak bisa berjalan untuk kepentingan umum, partai komunis yang berkuasa bertujuan untuk mencapai kekuasaan yang dijadikan batu loncatan untuk menguasai semua partai politik yang ada dan menghancurkan sistem politik yang demokratis.
Demokrasi. Sebuah kata yang harus dibayar mahal. Baik dari segi finansial, waktu, tenaga, bahkan pikiran. Namun, masih banyak sorotan mengenai kekurangan serta kritik akan keberlangsungan pesta demokrasi Indonesia yang baru saja usai. Sedikit menengok ke belakang tentang lahirnya demokrasi di Indonesia. Semakin memalasnya semangat berekspresi dan mengeluarkan pendapat terjadi saat rezim Orde Baru menjalankan pemilu dengan hanya ada dua partai politik, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), serta Golongan Karya. Dan pemilu Orde Baru hanyalah suatu bentuk formalitas karena kemenangan Golkar sudah mampu dipastikan.
Kemudian, rezim Orde Baru pun tumbang. Suara ingin diselenggarakannya sistem demokrasi Indonesia yang bersih mulai disuarakan dimana-mana. Dua partai politik dan Golkar beranak-pinak, menghasilkan sekian banyak partai politik yang bermunculan, yang selanjutnya disebut sebagai multi partai. Sistem multi partai ini yang disinyalir mampu mewakili suara-suara rakyat demi terbangunnya demokrasi di Indonesia. Sistem multi partai pun menjadi warna dalam penyelenggaraan pemilu 1999. Pemilu 2004 adalah pesta demokrasi pertama dimana rakyat secara langsung memilih presiden dan wakil presidennya. Inilah yang dianggap sebagai puncak dari segala puncak rangkaian pesta demokrasi di Indonesia. Gairah masyarakat untuk berpartisipasi dan menggunakan hak pilihnya pun termasuk kategori tinggi karena pertama kali dalam sejarah Indonesia rakyat secara langsung memilih presiden dan wakil presiden. Yang pasti multi partai tetap mewarnai pemilu 2004.
Kini, pemilu 2009 telah usai. Tren baru pemilu 2009 : contreng. Pemilu 2009 mengganti format mencoblos dengan mencontreng. Pendukung partai Golput ini rata-rata adalah golongan masyarakat tidak mampu dan masyarakat perantauan. Golongan masyarakat tidak mampu merasa untuk apa ikut menggunakan hak pilih, kehidupan mereka tidak akan berubah meskipun terpilih pemimpin baru. masih banyak dewan yang terlibat korupsi, duduk-duduk, bersenang-senang, kesimpulan. Golongan masyarakat itu akhirnya memilih bekerja dari pada mampir ke TPU untuk mencontreng. Begitu pula, dengan adanya pemikiran bahwa untuk apa memilih calon-calon yang tidak jelas kualitasnya atau bahkan sudah terbukti tidak berkualitas dan tidak perlu membuang-buang waktu ke TPU untuk memilih calon pemimpin tidak berkualitas atau calon pemimpin yang disinyalir merupakan calon tidak berkualitas. Meskipun telah usai, masih banyak terdapat perdebatan dan efek domino yang meluas akibat ketidakpuasan penyelanggaraan pemilu 2009. Kemenangan SBY-Budiono yang signifikan dan dianggap terdapat banyak kecurangan di dalamnya, termasuk angka golput yang tinggi akibat DPT dan ketidakjelasan sistem memilih di beberapa tempat. Sistem multi partai tetap mewarnai pemilu 2009. Partai-partai baru yang bermunculan bukan tidak mungkin hanya kemasan baru dari produk lama yang menyamar dengan kemasan baru, lambang partai baru, senyum baru, dan yang pasti janji baru. Terdapat pertanyaan yang selau tergambar dalam benak setiap orang. Pertanyaannya adalah, seberapa besar efektifitas sistem multi partai pada penyelenggaraan pemilu? Sejauh manakah pengaruh multi partai sebagai wadah berekspresi rakyat? Benarkah partai-partai yang sekian banyak itu akan kembali pada rakyat atau malah kembali memikirkan diri mereka masing-masing? Disini, yang patut digarisbawahi adalah bagaimana membangun pemerintahan yang efektif dan efisien.
Multi partai apakah nantinya akan mengarah pada pemerintah yang efektif dan efisien? Bisa jadi tidak. Anggapan bahwa multi partai adalah sarana yang paling tepat untuk penyelenggaraan demokrasi karena keterjaminan akan partisipasi bisa jadi malah menghancurkan pemerintahan itu sendiri. Karena kebanyakan partai tersebut lebih mementingkan kepentingan sendiri. Sistem kepartaian harusnya mampu membentuk pemerintah yang kuat. Namun, nyatanya sekian banyak partai yang bermunculan akhirnya mengkotak-kotakkan bangsa dan semakin tidak tercapai tujuan integralistik karena masing-masing disibukkan dengan pencapaian kepentingan dan ideologi masing-masing. Partai pun akhirnya hanya menjadi pembelaan terhadap kepentingan perebutan kekuasaan, bukan sebagai seleksi dalam menentukan pemimpin politik. Sistem multi partai pun dinilai belum mampu memberikan kontribusi yang signifikan bagi kondisi politik dan pemerintahan di Indonesia.
Dengan demikian, diperlukan penyederhanaan sistem kepartaian di Indonesia. Indonesia kini sedang berusaha menemukan sistem pemilu dan kepartaian yang cocok untuk mencapai tujuan awal dibangunnya demokrasi yang bersih, termasuk tingkat efektifitas dan tingkat keterwakilan sistem tersebut. Namun, sistem penyederhanaan muti partai bisa jadi nantinya malah menjerumuskan masyarakat terhadap pola kepemimpinan yang otoriter dan akhirnya kembalilah kita kepada masa Orde Baru yang lalu. Maka, perlu diadakan penyederhanaan sistem kepartaian yang terarah. Pertama, dengan meningkatkan kualitas persyaratan dalam pendirian partai politik baru. Dengan ini, tidak serta merta partai yang baru didirikan secara instan maju menjadi peserta pemilu. Selain itu, sistem koalisi partai yang permanent. Tidak hanya perasaan dan kerja sama sesaat ketika koalisi partai dirasa akan menguntungkan pihak-pihak yang terlibat

Kemenangan GOLKAR dalam Pemilu 1977

Keikutsertaan tiga parpol dalam Pemilu 1977 dituangkan dalam UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Sejak Pemilu 1977 hingga empat pemilu berikutnya, jumlah peserta pemilu tetap tiga, yakni PPP, Golkar dan PDI, dan Golkar selalu keluar sebagai pemenang. Banyak yang menyesalkan keputusan memilih sistem multipartai sederhana ini karena parpol peserta pemilu dianggap tidak mencerminkan keberagaman masyarakat. Aspirasi beberapa kelompok besar yang berkembang di masyarakat tidak dapat disalurkan melalui tiga parpol tersebut. Tetapi, sejumlah ahli ilmu politik melihat penyederhanaan parpol sangat efektif untuk menciptakan stabilitas pemerintahan. Dan hal itu terbukti selama dua dasawarsa sebelum akhirnya Soeharto mundur dari jabatannya sebagai presiden pada 1998.
Namun demikian, era yang disebut-sebut sebagai masa Demokrasi Pancasila ini pada prakteknya berlaku sistem mayoritas tunggal dan Golkar selalu keluar sebagai pemenang, bahkan jauh sebelum hari pencoblosan. Selain menyederhanakan jumlah parpol, UU No. 3/1975 juga membatasi ruang gerak PPP dan PDI. Kedua parpol hanya boleh membentuk kepengurusan sampai tingkat kabupaten/kota, dahulu disebut daerah tingkat II. Inilah yang disebut kebijakan massa mengambang (floating mass). Pemerintah benar-benar membatasi ruang gerak bagi kedua parpol yang hanya berfungsi sebagai "kosmetik" atau "ornamen" demokrasi itu. Dua partai itu selalu diberi kesempatan untuk tetap hidup dan berkembang tetapi jika terlalu rimbun buru-buru dipangkas, baik melalui regulasi maupun instruksi. Tak jauh berbeda dengan tanaman bonsai.
Golkar selalu menjadi pemenang dari pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997, sedangkan PPP dan PDI menjadi pelengkap atau sekedar ornamen. Golkar bahkan sudah menjadi pemenang sejak Pemilu 1971. Keadaan ini secara langsung dan tidak langsung membuat kekuasaan eksekutif dan legislatif berada di bawah kontrol Golkar. Pendukung utama Golkar adalah birokrasi sipil dan militer. Pemungutan suara Pemilu 1977 dilakukan 2 Mei 1977. Cara pembagian kursi masih dilakukan seperti dalam Pemilu 1971, yaitu mengikuti sistem proporsional di daerah pemilihan. Dari 70.378.750 pemilih, suara yang sah mencapai 63.998.344 suara atau 90,93 persen. Dari suara yang sah itu Golkar meraih 39.750.096 suara atau 62,11 persen.
Golkar dengan berdalih bukan partai politik, melainkan golongan, bisa menembus massa hingga ke desa-desa melalui aparatur pemerintah. Kita juga mengenal tiga pilar utama pendukung Golkar adalah ABG, yakni ABRI, Birokrasi, dan (kader) Golkar. Semakin lengkaplah dominasi Golkar dalam kehidupan politik kala itu. Perampingan jumlah peserta pemilu juga diikuti kewajiban parpol menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal dengan alasan untuk menekan konflik antarpartai karena setiap partai cenderung memperjuangkan asas mereka masing-masing. Pada dasarnya Golkar dan TNI-AD merupakan tulang punggung rezim militer Orde Baru. Semua politik Orde Baru diciptakan dan kemudian dilaksanakan oleh pimpinan militer dan Golkar. Selama puluhan tahun Orde Baru berkuasa, jabatan-jabatan dalam struktur eksekutif, legislatif dan yudikatif, hampir semuanya diduduki oleh kader-kader Golkar.
Keluarga besar Golongan Karya sebagai jaringan konstituen, dibina sejak awal Orde Baru melalui suatu pengaturan informal yaitu jalur A untuk lingkungan militer, jalur B untuk lingkungan birokrasi dan jalur G untuk lingkungan sipil di luar birokrasi. Pemuka ketiga jalur terebut melakukan fungsi pengendalian terhadap Golkar lewat Dewan Pembina yang mempunyai peran strategis

Sistem dan Hasil Pemilu 1977

Sitem yang digunakan pada Pemilu 1977 tidak berbeda jauh dengan yang digunakan pada pemilu 1971 yaitu menggunkan Sistem Proporsional. Adapun yang menjadi ciri khas dari sistem proporsional diantaranya: Pertama, wilayah negara ditetapkan sebagai satu daerah pemilihan, akan tetapi dalam pelaksanaannya dapat dibagi dalam beberapa daerah pemilihan administratif; Kedua, pemilih memilih OPP (Organisasi Peserta Pemilu), Organisasi Peserta Pemilu mengajukan calon-calonnya yang disusun dalam satu daftar; Ketiga, penetapan jumlah kursi sama dengan jumlah suara yang diperoleh; Keempat, tiap daerah pemilihan memilih lebih dari seorang wakil. Ciri khas dari pelaksanaan sistem pemilu 1977 ialah yang partai yang menjadi peserta pemilu. Pemilu 1977 pesertanya jauh lebih sedikit, dua parpol dan satu Golkar. Ini terjadi setelah sebelumnya pemerintah bersama-sama dengan DPR berusaha menyederhanakan jumlah partai dengan membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Kedua partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan atau PPP dan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI) dan satu Golongan Karya atau Golkar.
Perlu diketahui, inilah pemilu pertama yang hanya diikuti dua partai politik (PPP, PDI) dan Golkar, yang merupakan kelanjutan dari program penyederhanaan partai. PPP lahir pada 5 Januari 1973, hasil fusi dari empat partai Islam (NU, Parmusi, PSII dan Perti). Lima hari kemudian, lahirlah PDI sebagai fusi lima partai (PNI, Parkindo, Partai Katolik, Murba, dan IPKI). Penyederhanaan partai makin diperkuat dengan kelahiran UU 3/1975 tentang Parpol dan Golongan Karya, serta UU 4/1975 tentang Pemilu. Fusi merupakan ''buah kesuksesan'' Orde Baru dalam menyederhanakan partai-partai. Sebab, partai yang dibangun dari fusi partai-partai jelas rawan konflik. Tidak heran apabila PPP dan PDI tidak pernah lepas dari konflik, yang kebanyakan memerlukan intervensi pemerintah. Masa kampanye juga berlangsung 60 hari (27 April - 25 Juni 1977).
Mengenai sistem pelaksanaannya, MPR sama sekali tidak menetapkannya. Semua diserahkan kepada Presiden dan DPR. Keinginan Presiden mengenai sistem ini terlihat dari RUU tersebut. Rancangan itu dapat dikatakan hanya berupa perubahan redaksionil saja terhadap UU 15/1969, karena memang tidak ada perubahan yang prinsipil. Seandainya tidak ada ketentuan dalam Tap MPR tersebut bahwa yang boleh ikut pemilu 1977 hanya dua parpol dan satu golkar, maka mungkin Pemerintah akan berpendapat bahwa pemilu 1977 cukup diatur dengan UU 15/ 1969. Karena tidak ada perubahan prinsipil, dapat diambil kesimpulan bahwa Pemerintah tetap berkeinginan untuk memakai sistem perwakilan seperti apa yang terdapat dalam UU 15/1969, yaitu sistem perwakilan proporsionil di mana para pemilih tetap akan menusuk tanda gambar. Perbedaannya hanya dalam pemilu 1971 terdapat 10 tanda gambar, maka pada pemilu 1977 tinggal tiga tanda gambar saja.
Adapun hasil dari Pemungutan suara Pemilu 1977 dilakukan 2 Mei 1977. Cara pembagian kursi masih dilakukan seperti dalam Pemilu 1971, yakni mengikuti sistem proporsional di daerah pemilihan. Dari 70.378.750 pemilih, suara yang sah mencapai 63.998.344 suara atau 90,93 persen. Dari suara yang sah itu Golkar meraih 39.750.096 suara atau 62,11 persen. Namun perolehan kursinya menurun menjadi 232 kursi atau kehilangan 4 kursi dibandingkan Pemilu 1971.
Pada Pemilu 1977 suara PPP naik di berbagai daerah, bahkan di DKI Jakarta dan DI Aceh mengalahkan Golkar. Secara nasional PPP berhasil meraih 18.743.491 suara, 99 kursi atau naik 2,17 persen, atau bertambah 5 kursi dibanding gabungan kursi 4 partai Islam dalam Pemilu 1971. Kenaikan suara PPP terjadi di banyak basis-basis eks Masjumi. Ini seiring dengan tampilnya tokoh utama Masjumi mendukung PPP. Tetapi kenaikan suara PPP di basis-basis Masjumi diikuti pula oleh penurunan suara dan kursi di basis-basis NU, sehingga kenaikan suara secara nasional tidak begitu besar. PPP berhasil menaikkan 17 kursi dari Sumatera, Jakarta, Jawa Barat dan Kalimantan, tetapi kehilangan 12 kursi di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Secara nasional tambahan kursi hanya 5
PDI juga merosot perolehan kursinya dibanding gabungan kursi partai-partai yang berfusi sebelumnya, yakni hanya memperoleh 29 kursi atau berkurang 1 kursi di banding gabungan suara PNI, Parkindo dan Partai Katolik. Selengkapnya perolehan kursi dan suara tersebut bisa dilihat pada tabel di bawah ini

No Partai Suara % Kursi %(1971) Ket
1 Golkar 39.750.096 62,11 232 62,80 -0,69
2 PPP 18.743.491 29,29 99 27,12 +2,17
3 PDI 5.504.757 8,60 29 10,08 -1,48
Jumlah 63.998.344 100,00 360 100,00

Latar Belakang Pemilu 1977

Terdapat beberapa latar belakang terwujudnya pelaksanaan Pemilu 1977. Pemerintah sadar bahwa pemilu 1971 masih kurang demokratis. RUU tentang perubahan UU 15/1962 telah di ajukan kepada DPR, untuk mewujudkan keinginan presiden agar pemilu 1977 dilaksanakan lebih demokratis. Presiden dalam pidato kenegaraan, mengenai pemilu menyatakan antara lain bahwa pelaksanaan pemilu 1977 hendaknya semakin demokratis dan semakin dijamin diwakilinya semua lapisan masyarakat. Yang tersirat dari pidato Presiden tersebut adalah bahwa Pemerintah sendiri menyadari pelaksanaan pemilu 1971 masih kurang demokratis, karena itu pemilu 1977 harus dilaksanakan lebih baik, dan lebih demokratis. Keinginan Presiden tersebut dalam kenyataan sekarang akan terlihat dalam RUU tentang Perobahan UU 15/1969 yang telah diajukan kepada DPR
Pemilu sebagai pelaksanaan azas kedaulatan rakyat, yang berarti pula pelaksanaan sebagian hak-hak azasi warga negara, juga bertujuan agar penyegaran pemerintahan dapat berjalan secara damai dan tertib, karena pemilu pada akhirnya akan mengisi keanggotaan lembaga negara tertentu. Pemilu juga perlu untuk menampung kemungkinan perubahan kesadaran hukum rakyat yang menghendaki pula perubahan wakilnya, serta memberikan kesempatan kepada mereka yang pada pemilu yang lalu belum dewasa, untuk mempergunakan haknya sekarang. Tujuan umum pemilu tersebut akan sama, baik pemilu 1955, 1971, dan 1977 maupun yang akan datang. Perbedaannya mungkin terletak pada azas, sistim perwakilan dan pelaksanaannya. Azas dalam pemilu 1977 dengan tegas telah ditetapkan oleh Tap MPR VIII/1973 yaitu langsung, umum bebas dan rahasia. Hal ini sama dengan pemilu 1971. Bahwa MPR tidak menetapkan azas berkesamaan seperti pada pemilu 1955 untuk sementara dapat diterima

Kamis, 10 Desember 2009

Perubahan sosial budaya

Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan.

kedatangan orang asing yang berbeda kebudayaan dapat mendorong terjadinya perubahan

Perubahan sosial budaya terjadi karena beberapa faktor. Di antaranya komunikasi; cara dan pola pikir masyarakat; faktor internal lain seperti perubahan jumlah penduduk, penemuan baru, terjadinya konflik atau revolusi; dan faktor eksternal seperti bencana alam dan perubahan iklim, peperangan, dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain.

Ada pula beberapa faktor yang menghambat terjadinya perubahan, misalnya kurang intensifnya hubungan komunikasi dengan masyarakat lain; perkembangan IPTEK yang lambat; sifat masyarakat yang sangat tradisional; ada kepentingan-kepentingan yang tertanam dengan kuat dalam masyarakat; prasangka negatif terhadap hal-hal yang baru; rasa takut jika terjadi kegoyahan pada masyarakat bila terjadi perubahan; hambatan ideologis; dan pengaruh adat atau kebiasaan.


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Perubahan Kebudayaan: Teknologi, Ideologi, dan Nilai

Perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan budaya. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagian, yang meliputi kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan lainnya. Akan tetapi perubahan tersebut tidak mempengaruhi organisasi sosial masyarakatnya. Ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih luas dibandingkan perubahan sosial. Namun demikian dalam prakteknya di lapangan kedua jenis perubahan perubahan tersebut sangat sulit untuk dipisahkan (Soekanto, 1990).

Perubahan kebudayaan bertitik tolak dan timbul dari organisasi sosial. Pendapat tersebut dikembalikan pada pengertian masyarakat dan kebudayaan. Masyarakat adalah sistem hubungan dalam arti hubungan antar organisasi dan bukan hubungan antar sel. Kebudayaan mencakup segenap cara berfikir dan bertingkah laku, yang timbul karena interaksi yang bersifat komunikatif seperti menyampaikan buah pikiran secara simbolik dan bukan warisan karena keturunan (Davis, 1960). Apabila diambil definisi kebudayaan menurut Taylor dalam Soekanto (1990), kebudayaan merupakan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat istiadat dan setiap kemampuan serta kebiasaan manusia sebagai warga masyarakat, maka perubahan kebudayaan dalah segala perubahan yang mencakup unsur-unsur tersebut. Soemardjan (1982), mengemukakan bahwa perubahan sosial dan perubahan kebudayaan mempunyai aspek yang sama yaitu keduanya bersangkut paut dengan suatu cara penerimaan cara-cara baru atau suatu perbaikan dalam cara suatu masyarakat memenuhi kebutuhannya.

Perspektif Historis Materialisme

Teori historis materialisme digagas oleh Marx dan Engel. Pada dasarnya teori ini menyoroti perubahan moda produksi sehingga melahirkan perubahan pada berbagai aspek. Sumber perubahan kebudayaan (tentu saja perubahan sosial termasuk di dalamnya) disebabkan oleh faktor material, yaitu teknologi. Perspektif materialistis bertumpu pada pemikiran Marx yang menyatakan bahwa kekuatan produksi berperan penting dalam membentuk masyarakat dan perubahan sosial. Marx memberikan penjelasan bahwa pada masa teknologi masih terbatas pada kincir angin memberikan bentuk tatanan masyarakat yang feodal, sedangkan ketika mesin uap telah ditemukan tatanan masyarakat menjadi bercirikan industrial kapitalis. Perspektif ini melihat bahwa bentuk pembagian kelas-kelas ekonomi merupakan dasar anatomi suatu masyarakat.

Penjelasan Marx tentang kelas dalam masyarakat yang telah menganut moda produksi kapitalis bertumpu pada konflik kelas sebagai akibat eksploitasi kelas bawah oleh kelas atas. Penjelasan ini didasarkan atas pengamatan empiris pada negara-negara eropa sampai dengan tahun 1845. Marx menggunakan perspektif historis materialisme sebagai sebuah hipotesis kerja untuk menjelaskan peran antara ekonomi dengan masyarakat. Historis materialisme digunakan sebagai sarana untuk mempelajari moda produksi kapitalis yang telah menggejala di negara-negara eropa. Pengamatan sejarah perkembangan negara-negara eropa terutama Jerman melahirkan dugaan bahwa semua perkembangan sejarah tersebut diwarnai oleh adanya konflik kelas. Analisis sistem ekonomi terhadap moda produksi kapitalis menghasilkan teori kemunculan dan perkembangan formasi masyarakat.

Teori historis materialis tentang perkembangan masyarakat bertujuan untuk menjelaskan proses sosialisasi pada masyarakat. Manfaat utama teori ini adalah untuk menjelaskan peranan aspek kesejarahan masa lalu terhadap kondisi masyarakat saat ini. Konsep dasar teori ini adalah adanya hubungan antara masyarakat, manusia dan lingkungannya.

Menurut Marx terdapat tiga tema menarik ketika kita hendak mempelajari perubahan sosial, yaitu :

  1. Perubahan sosial menekankan pada kondisi materialis yang berpusat pada perubahan cara atau teknik produksi material sebagai sumber perubahan sosial budaya.
  2. Perubahan sosial utama adalah kondisi material dan cara produksi dan hubungan sosial serta norma-norma kepemilikan.
  3. Manusia menciptakan sejarah materialnya sendiri, selama ini mereka berjuang menghadapi lingkungan materialnya dan terlibat dalam hubungan-hubungan sosial yang terbatas dalam proses pembentukannya. Kemampuan manusia untuk membentuk sejarahnya sendiri dibatasi oleh keadaan lingkungan material dan sosial yang telah ada.

Dalam konsepsi Marx, perubahan sosial ada pada kondisi historis yang melekat pada perilaku manusia secara luas, tepatnya sejarah kehidupan material manusia. Pada hakikatnya perubahan sosial dapat diterangkan dari sejumlah hubungan sosial yang berasal dari pemilikan modal atau material. Dengan demikian, perubahan sosial hanya mungkin terjadi karena konflik kepentingan material atau hal yang bersifat material. Konflik sosial dan perubahan sosial menjadi satu pengertian yang setara karena perubahan sosial berasal dari adanya konflik kepentingan material tersebut.

Perubahan dalam pandangan Marx bersifat otodinamis, terus-menerus dan berasal dari dalam. Perubahan didorong oleh kontradiksi endemik, penindasan dan ketegangan dalam struktur. Perubahan terjadi pada tiga tempat, yaitu :

  1. Kontradiksi antara masyarakat dan lingkungan.
  2. Kontradiksi antara tingkat teknologi yang dicapai dab organisasi sosial proses produksi yang tersedia.
  3. Kontradiksi antara moda produksi dan sistem politik tradisional.

Sejalan dengan pandangan dinamis Marx, model kesatuan sosial (sistem sosial) dibangun dalam gerakan sosial internal yang konstan yaitu perubahan yang digerakkan oleh kekuatan dari dalam sistem sosial itu sendiri. Marx melihat bahwa proses ini akan berlanjut hingga menuju pada suatu keadaan yang sempurna. Pada kondisi tertentu, kekuatan material pada masyarakat akan mengalami konflik dengan hubungan produksi yang ada. Marx melihat pada moda produksi kapitalis bersifat labil dan pada akhirnya akan hilang. Hal ini disebabkan pola hubungan antara kaum kapitalis modal dan kaum buruh bercirikan pertentangan akibat eksploitasi besar-besaran oleh kaum kapitalis. Kaum buruh merupakan kaum proletar yang kesemuanya telah menjadi “korban” eksploitasi kaum borjuis. Marx meramalkan akan terjadi suatu keadaan dimana terjadi kesadaran kelas di kalangan kaum proletar. Kesadaran kelas ini membawa dampak pada adanya kemauan untuk melakukan perjuangan kelas untuk melepaskan diri dari eksploitasi, perjuangan ini dilakukan melalui revolusi.

Perspektif tentang Individu dalam Perubahan Sosial

Perspektif individual menjadi sebuah alternatif untuk menjelaskan perubahan sosial. Menurut perspektif historisme, masyarakat sebagai kesatuan holistik yang bersifat menentukan sifat dan keteraturannya sendiri yang tidak dapat direduksi. Individu dipandang pasif dan cenderung tergantung pada sistem sosialnya. Sebaliknya, perspektif individual memberikan ruang yang sangat dominan terhadap individu. Pusat perhatian bergeser ke agen dan tindakannya, yaitu perilaku signifikan yang ditujukan terhadap orang lain untuk mendapatkan tanggapan. Untuk memahami tindakan sosial maka kita harus memahami terlebih dahulu tindakan individu. Tindakan individu sendiri merupakan sebuah kompleksitas antara motivasi psikologis, nilai budaya, norma dan hukum yang membentuk tindakan. Dengan demikian, faktor utama yang menjelaskan perubahan sosial adalah pada alam ide.

Berbeda dengan kubu materialis yang memandang bahwa faktor budaya material yang menyebabkan perubahan sosial, perspektif idealis melihat bahwa perubahan sosial disebabkan oleh faktor non material. Faktor non material ini antara lain ide, nilai dan ideologi. Ide merujuk pada pengetahuan dan kepercayaan, nilai merupakan anggapan terhadap sesuatu yang pantas atau tidak pantas, sedangkan ideologi berarti serangkaian kepercayaan dan nilai yang digunakan untuk membenarkan atau melegitimasi bentuk tindakan masyarakat.

Salah satu pemikir dalam kubu idealis adalah Weber. Weber memiliki pendapat yang berbeda dengan Marx. Perkembangan industrial kapitalis tidak dapat dipahami hanya dengan membahas faktor penyebab yang bersifat material dan teknik. Namun demikian Weber juga tidak menyangkal pengaruh kedua faktor tersebut. Pemikiran Weber yang dapat berpengaruh pada teori perubahan sosial adalah dari bentuk rasionalisme yang dimiliki. Dalam kehidupan masyarakat barat model rasionalisme akan mewarnai semua aspek kehidupan. Menurut Webar, rasionalitas memiliki empat macam model, yaitu :

  1. Rasionalitas tradisional.
  2. Rasionalitas yang berorientasi nilai.
  3. Rasionalitas afektif.
  4. Rasionalitas instrumental.

Weber melihat bahwa pada wilayah Eropa yang mempunyai perkembangan industrial kapital pesat adalah wilayah yang mempunyai penganut protestan. Bagi Weber, ini bukan suatu kebetulan semata. Nilai-nilai protestan menghasilkan etik budaya yang menunjang perkembangan industrial kapitalis. Protestan Calvinis merupakan dasar pemikiran etika protestan yang menganjurkan manusia untuk bekerja keras, hidup hemat dan menabung. Pada kondisi material yang hampir sama, industrial kapital ternyata tidak berkembang di wilayah dengan mayoritas Katholik, yang tentu saja tidak mempunyai etika protestan.

Perubahan Kebudayaan Masyarakat Indonesia

Catatan perjalanan pembangunan di Indonesia telah banyak diulas oleh para peneliti. Salah satunya hasil penelitian Soemardjan dan Breazeale. Penelitian yang mengulas tentang perubahan budaya pada masyarakat pedesaan Indonesia sebagai akibat kebijakan pembangunan peedesaan yang diambil oleh pemerintah orde baru. Kebijakan pembangunan perdesaan yang dilakukan oleh pemerintah diwijudkan dengan modernisasi, sebuah pendekatan pembangunan yang lazim dilakukan oleh negara berkembang. Fokus telaah dalam penelitian ini adalah beberapa program pembangunan perdesaan, antara lain; listik masuk desa, informasi masuk desa, pemberantasan buta huruf, PKK, KB, KUD dan intensifikasi pertanian (BIMAS).

Pembangunan perdesaan dengan perspektif modernisasi berasumsi pada dua kutub yang saling berbeda, yaitu pemerintah dalam posisi superior (pusat) dan masyarakat perdesaan sebagai posisi inferior (periferi). Perubahan selalu berasal dari pemerintah yang “menganggap dirinya lebih maju” dibandingkan masyarakat perdesaan. Budaya tradisional dianggap sebagai salah satu penghambat sehingga perlu digantikan oleh budaya modern yang lebih produktif. Orientasi utama pembangunan perdesaan adalah pada peningkatan taraf ekonomi masyarakat perdesaan yang pada akhirnya akan meningkatkan pula taraf ekonomi bangsa. Perubahan mendasar yang terjadi adalah semakin terkikisnya budaya tradisional oleh budaya modern. Masyarakat tradisional pada dasarnya sudah memiliki “pola pengaturan” kehidupan sosialnya sejak lama namun semuanya harus mengalami transformasi menuju “pola pengaturan” baru yang oleh pemerintah dianggap lebih baik (”modern”).

Pemikir fungsionalis menegaskan bahwa perubahan diawali oleh tekanan-tekanan kemudian terjadi integrasi dan berakhir pada titik keseimbangan yang selalu berlangsung tidak sempurna. Artinya teori ini melihat adanya ketidakseimbangan yang abadi yang akan berlangsung seperti sebuah siklus untuk mewujudkan keseimbangan baru. Variabel yang menjadi perhatian teori ini adalah struktur sosial serta berbagai dinamikanya. Penyebab perubahan dapat berasal dari dalam maupun dari luar sistem sosial. Perubahan kebudayaan ini dapat terjadi karena adanya faktor pendorong yaitu pemerintah. Pemerintah telah menjadi pihak yang memberikan introduksi dari luar sistem sebuah perubahan melalui pogram pembangunan perdesaan.

Polarisasi antara pemerintah dan masyarakat perdesaan menyebabkan kesulitan dalam pelaksanaan program pembangunan. Senjang kebudayaan yang terjadi perlu dijembatani oleh “broker budaya”, yaitu pihak yang menjadi perantara antara “budaya modern” dan “budaya tradisional. Peran elit desa sangat dominan dalam keberhasilan program pembangunan perdesaan ini. Mereka umunya menjadi corong pemerintah. program pembangunan perdesaan bersifat top down dan berjenjang dari pemerintah pusat hingga tingkat desa.

Di dalam kelompok sendiri pada dasarnya telah terbangun sebuah kebiasaan-kebiasaan dan norma-norma. Perubahan mungkin saja tidak terjadi apabila terdapat penolakan-penolakan dari dalam kelompok. Proses perubahan membawa kelompok pada keseimbangan baru. Perubahan terjadi apabila driving forces lebih kuat dibandingkan resistences. Pada tahap ini seringkali terjadi konflik dan “polarisasi” di dalam kelompok. Kelompok mayoritas akan berusaha menekan kelompok minoritas. Seringkali kebiasaan-kebiasaan yang terjadi di dalam kelompok didasarkan pada relasi antara individu dan standar perilaku di dalam kelompok. Beberapa individu mungkin memiliki perilaku yang berbeda dengan standar perilaku di dalam kelompok. Apabila individu tetap mempertahankan perbedaan tersebut maka individu akan dikucilkan oleh kelompok dan bahkan akan “dikeluarkan” dari kelompok. Oleh karenanya seringkali individu harus berusaha untuk melakukan usaha konformis untuk menyesuaikan dengan standar kelompoknya.

Peran pemerintah sebagai sumber perubahan tidak dapat berjalan dengan sendirinya. Salah satu faktor pendorong yang tidak dapat diabaikan adalah teknologi. Perkembangan teknologi modern memberikan andil yang sangat besar dalam membawa perubahan pada masyarakat perdesaan. BIMAS dapat berjalan dengan sukses karena adanya inovasi teknologi di bidang pertanian. Demikian pula dengan program pembangunan perdesaan lainnya. Perkembangan teknologi kesehatan, transportasi dan komunikasi turut memberi warna dalam “keberhasilan” perubahan kebudayaan masyarakat perdesaan.

Aspek Peran
Teknologi Sebagai pendorong perubahan, bahkan perspektif materialis memandang teknologi sebagai sumber perubahan. Teknologi dapat menyebabkan perubahan sosial melalui tiga cara yang berbeda, yaitu :

1. Teknologi baru mampu meningkatkan berbagai kemungkinan-kemungkinan dalam masyarakat. Suatu hal yang tidak mungkin dilakukan pada masa lalu akan menjadi mungkin dengan bantuan teknologi.

2. Teknologi baru merubah pola interaksi dalam masyarakat.

3. Teknologi baru menyebabkan terjadinya berbagai permasalahan hidup baru bagi masyarakat.

Selain sebagai sumber perubahan, pada penelitian Soemardjan dan Breazeale tampak bahwa teknologi dapat berperan sebagai faktor pembawa ide atau budaya baru (”modern”) kepada masyarakat tradisional. Salah satu contohnya adalah teknologi komunikasi dan informasi. Masuknya televisi mampu membawa pesan (ide) modernisasi dari pemerintah kepada masyarakat perdesaan.

Ideologi dan nilai Sebagai pendorong perubahan, perspektif idealis memandangnya sebagai sumber perubahan. Ideologi mampu menyebabkan perubahan paling tidak melalui tiga cara yang berbeda, yaitu :

1. Ideologi dapat melegitimasi keinginan untuk melakukan perubahan.

2. Ideologi mampu menjadi dasar solidaritas sosial yang dibutuhkan untuk melakukan perubahan.

3. Ideologi dapat menyebabkan perubahan melalui menyoroti perbedaan dan permasalahan yang ada pada masyarakat.

Tahap pembangunan perdesaan yang dijalankan oleh pemerintah diawali dengan introduksi ideologi. Peran pemerintah desa menjadi sangat dominan dalam merubah ideologi tradisional menjadi ideologi modern. Modernisasi sendiri dapat diartikan sebagai turunan perspektif idealis, yang memandang pembangunan ekonomi perlu diawali dengan perubahan budaya tradisional menuju budaya modern.

Daftar Bacaan

Davis, Kingsley. 1960. Human Society. The Macmillan Company. New York.

Salim, Agus. 2002. Perubahan Sosial. Tiara Wacana. Yogyakarta.

Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali Pers. Jakarta

Soemardjan, S dan Breazeale, K. 1993. Cultural Change in Rural Indonesia; Impact of Village Development. UNS-YISS-East West Center. Honolulu.

Soemardjan, Selo. 1986. Perubahan Sosial di Yogyakarta. UGM Press. Yogyakarta.

Strasser, H. and S.C. Randall. 1981. An Introdustion to Theories of Social Change. London: Routledge & Kegan Paul.

Sztompka, P. 1994. Sosiologi Perubahan Sosial. Prenada. Jakarta.

Definisi Kebudayaan

Budaya secara harfiah berasal dari Bahasa Latin yaitu Colere yang memiliki arti mengerjakan tanah, mengolah, memelihara ladang (menurut Soerjanto Poespowardojo 1993). Selain itu Budaya atau kebudayaan berasal daribahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Adapun menurut istilah Kebudayaan merupakan suatu yang agung dan mahal, tentu saja karena ia tercipta dari hasil rasa, karya, karsa,dan cipta manusia yang kesemuanya merupakan sifat yang hanya ada pada manusia.Tak ada mahluk lain yang memiliki anugrah itu sehingga ia merupakan sesuatuyang agung dan mahal

Menurut Koentjaraningrat budaya adalah keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan miliki diri manusia dengan cara belajar.

1.1 Definisi kebudayaan menurut para ahli

Berikut ini definisi-definisi kebudayaan yang dikemukakan beberapa ahli:

1. Edward B. Taylor

Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adapt istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat oleh seseorang sebagai anggota masyarakat.

2. M. Jacobs dan B.J. Stern

Kebudayaan mencakup keseluruhan yang meliputi bentuk teknologi sosial, ideologi, religi, dan kesenian serta benda, yang kesemuanya merupakan warisan sosial.

3. Koentjaraningrat

Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan relajar.

4. Dr. K. Kupper

Kebudayaan merupakan sistem gagasan yang menjadi pedoman dan pengarah bagi manusia dalam bersikap dan berperilaku, baik secara individu maupun kelompok.

5. William H. Haviland

Kebudayaan adalah seperangkat peraturan dan norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat, yang jika dilaksanakan oleh para anggotanya akan melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat di terima oleh semua masyarakat.

6. Ki Hajar Dewantara

Kebudayaan berarti buah budi manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni zaman dan alam yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran didalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.

7. Francis Merill

  • Pola-pola perilaku yang dihasilkan oleh interaksi sosial
  • Semua perilaku dan semua produk yang dihasilkan oleh sesorang sebagai anggota suatu masyarakat yang ditemukan melalui interaksi simbolis.

8. Bounded et.al

Kebudayaan adalah sesuatu yang terbentuk oleh pengembangan dan transmisi dari kepercayaan manusia melalui simbol-simbol tertentu, misalnya simbol bahasa sebagai rangkaian simbol yang digunakan untuk mengalihkan keyakinan budaya diantara para anggota suatu masyarakat. Pesan-pesan tentang kebudayaan yang di harapkan dapat di temukan di dalam media, pemerintahan, intitusi agama, sistem pendidikan dan semacam itu.

9. Mitchell (Dictionary of Soriblogy)

Kebudayaan adalah sebagian perulangan keseluruhan tindakan atau aktivitas manusia dan produk yang dihasilkan manusia yang telah memasyarakat secara sosial dan bukan sekedar dialihkan secara genetikal.

10. Robert H Lowie

Kebudayaan adalah segala sesuatu yang diperoleh individu dari masyarakat, mencakup kepercayaan, adat istiadat, norma-norma artistic, kebiasaan makan, keahlian yang di peroleh bukan dari kreatifitasnya sendiri melainkan merupakan warisan masa lampau yang di dapat melalui pendidikan formal atau informal.

11. Arkeolog R. Seokmono

Kebudayaan adalah seluruh hasil usaha manusia, baik berupa benda ataupun hanya berupa buah pikiran dan dalam penghidupan.

Kebudayaan adalah seperangkat peraturan dan norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat, yang jika dilaksanakan oleh para anggotanya akan melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat di terima oleh semua masyarakat.